Kasus Impor Gula
Jelang Vonis Tom Lembong, Eks Wakapolri: Kasus Gak Jelas, Nggak Ada Barang Bukti
Oegroseno menganggap jaksa tidak bisa membuktikan keterlibatan Tom Lembong dalam kasus importasi gula. Dia menganggap kasus ini tidak jelas.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Whiesa Daniswara
"Jadi, ya itu yang cukup syok buat saya, betapa kacau balau ya baik audit BPKP itu sendiri maupun keterangan ahli BPKP kemarin," kata Tom setelah sidang pada 24 Juni 2025.
Dalam perkara ini, Tom Lembong dianggap melakukan perbuatan melawan hukum setelah menerbitkan 21 persetujuan impor gula.
Jaksa menilai kebijakan Tom Lembong tersebut membuat negara rugi Rp578 miliar karena dia dianggap memperkaya pengusaha gula swasta.
Tom Lembong pun dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan.
Jelang Vonis, Ada Konsultan Pajak Kirim Amicus Curiae
Menjelang sidang, konsultan yang tegabung dalam Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perpajakan mengirimkan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Dokumen itu sudah diterima panitera Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis kemarin.
Salah satu isi dari dokumen itu menyoroti soal audit BPKP yang menyatakan negara mengalami kerugian hingga Rp578 miliar akibat kebijakan impor gula Tom Lembong.
Ketua lembaga tersebut, Suhandi Cahaya, menganggap hitung-hitungan BPKP tidak didukung fakta persidangan. Adapun salah satunya terkait Harga Pokok Penjualan (HPP) gula.
Berdasarkan audit, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang ditunjuk Tom Lembong untuk melakukan operasi pasar membeli gula kristal putih (GKP) atau gula pasir dari perusahaan swasta seharga Rp9.000 per kilogram dan dianggap BPKP terlalu mahal.
Baca juga: Tom Lembong Beri Judul Dupliknya Tetap Manusia, Singgung Hukum yang Berlandaskan pada Moral
Namun, dalam persidangan, HPP bukanlah harga maksimum dengan bukti harga pembelian GKP dari petani oleh perusahaan BUMN yaitu PT Perkebunan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), justru lebih mahal dari HPP.
“Transaksi ini tidak dianggap kemahalan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara,” tutur Suhandi.
“Karena itu, pernyataan BPKP bahwa selisih harga beli (Rp 9.000 per kilogram) dengan HPP (Rp 8.900 per kilogram) merupakan komponen kerugian keuangan negara tidak mempunyai dasar hukum sehingga tidak valid,” katanya.
Suhandi juga menyoroti soal pandangan BPKP bahwa kekurangan bayar dimasukan sebagai kerugian negara.
Menurutnya, BPKP telah membuat keresahan bagi wajib pajak karena menciptakan ketidakpastian hukum.
Selain itu, pihaknya juga mempersoalkan BPKP yang mengatakan seakan-akan perusahaan gula swasta harus membayar bea masuk impor gula kristal putih, padahal mengimpor gula kristal mentah.
“Perhitungan bea masuk versi BPKP, bahwa impor produk A harus bayar bea masuk untuk produk B, tidak sesuai peraturan perpajakan yang berlaku, sekaligus bersifat ilusi,” tutur Suhandi.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Rahmat Fadjar Nugraha)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.