Putusan MK Pemilu Terpisah Nasional-Daerah Digugat: Berpotensi Timbulkan Perubahan Sistem Demokrasi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah digugat oleh sejumlah pihak.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah digugat oleh sejumlah pihak.
Pemohon adalah Brahma Aryana, seorang paralegal sekaligus pemantau pemilu yang tergabung di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), didampingi Kantor Hukum Girindra Sandino And Partners.
Tak sendiri, ia juga bersama dengan dua mahasiswa, Arina Sa’yin Afifa dan Muhammad Adam Arrofiu Arfah.
Mereka mengajukan permohonan ke MK, Jakarta atas putusan itu pada Jumat (18/7/2025).
Dalam keterangannya, Aryana mengatakan putusan MK yang kini memberi jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional dan daerah merupakan langkah yudisial yang berpotensi menimbulkan perubahan signifikan dalam sistem demokrasi.
"Secara substantif, putusan ini menciptakan norma hukum baru yang setara dengan undang-undang," kata Aryana.
"Sehingga memiliki dampak konstitusional yang fundamental dan wajib diuji kembali jika menimbulkan kerugian konstitusional nyata bagi warga negara dan pemilih," sambungnya.
Ada sejumlah implikasi berdasarkan pencermatan Aryana atas Putusan MK itu, yakni:
1. Potensi Pelanggaran Periodisitas Konstitusional
Putusan MK dinilai menciptakan norma baru yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 hingga 2031. Hal ini dianggap melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan pemilu setiap lima tahun serta Pasal 18 ayat (3) yang menyatakan anggota DPRD dipilih melalui pemilu. Perpanjangan tanpa mandat baru melemahkan prinsip kedaulatan rakyat.
2. Pelemahan Akuntabilitas dan Representasi Demokratis
Dengan tidak adanya pemilu dalam lima tahun, anggota DPRD kehilangan momen evaluasi oleh pemilih. Ini dinilai bisa mengurangi akuntabilitas, legitimasi, dan responsivitas terhadap konstituen, serta menciptakan pemerintahan lokal yang terputus dari rakyat.
Baca juga: Pemisahan Pemilu Nasional-Daerah Tak Jamin Integritas, Banyak Faktor Perlu Dibenahi
3. Klaim Turunnya Partisipasi Dinilai Tidak Berdasar
MK menyebut kompleksitas pemilu serentak menurunkan kualitas partisipasi. Namun Aryana menegaskan data menunjukkan sebaliknya—partisipasi pemilih di Pemilu 2019 dan 2024 sangat tinggi, mencapai di atas 81 persen.
Ini menandakan keterlibatan kuat publik dan menunjukkan bahwa sistem serentak justru memperkuat demokrasi.
4. Suara Tidak Sah Bukan Akibat Keserentakan
Tingginya suara tidak sah tidak bisa semata dikaitkan dengan keserentakan pemilu.
Fenomena itu bersifat multidimensional, bisa karena protes, kurangnya sosialisasi, pendidikan pemilih yang rendah, hingga manajemen pemilu. Solusinya ada pada reformasi penyelenggaraan dan peningkatan edukasi politik.
5. Ancaman Terhadap Penguatan Institusi Partai Politik
Pemilu serentak dinilai memperkuat partai politik melalui efek ekor jas.
Jika dipisah, hal itu dikhawatirkan menghambat konsolidasi partai dan memperparah fragmentasi politik.
Selain itu, putusan MK ini juga berpotensi menimbulkan konflik hukum dengan UU Pilkada dan menciptakan ketidakpastian dalam pencalonan kepala daerah, karena data pemilu bisa menjadi tidak relevan dalam rentang tujuh tahun
Permohonan Aryana dkk ini secara spesifik menguji Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Ketentuan-ketentuan ini, sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan MK mereka yakini bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24 Tokoh Antikorupsi Ajukan Amicus Curiae ke MK, Soroti Pasal Korupsi yang Dinilai Salah Arah |
![]() |
---|
Mantan Kepala BAIS: Kejaksaan Tak Punya Kewenangan Super Power, Perannya Koordinatif |
![]() |
---|
Ahli Hukum UI: Jaksa Tak Punya Imunitas Absolut, Tapi Perlu Perlindungan dari Kriminalisasi |
![]() |
---|
Jika MK Kabulkan Gugatan Rangkap Jabatan pada Sidang Lusa, 30 Wamen Tak Lagi Jabat Komisaris BUMN |
![]() |
---|
Syarat Minimal Ijazah SMA untuk Masuk Polisi Digugat ke MK, Polri Siap Terima Masukan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.