Selasa, 16 September 2025

Putusan MK Pemilu Terpisah Nasional-Daerah Digugat: Berpotensi Timbulkan Perubahan Sistem Demokrasi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah digugat oleh sejumlah pihak.

Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
MK HAPUS KESERENTAKAN - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta pada Kamis (26/6/2025) yang memutuskan Pemilu dan Pilkada tak lagi serentak. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 kini digugat oleh sejumlah pihak. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah digugat oleh sejumlah pihak.

Pemohon adalah Brahma Aryana, seorang paralegal sekaligus pemantau pemilu yang tergabung di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), didampingi Kantor Hukum Girindra Sandino And Partners.

Tak sendiri, ia juga bersama dengan dua mahasiswa, Arina Sa’yin Afifa dan Muhammad Adam Arrofiu Arfah.

Mereka mengajukan permohonan ke MK, Jakarta atas putusan itu pada Jumat (18/7/2025).

Dalam keterangannya, Aryana mengatakan putusan MK yang kini memberi jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional dan daerah merupakan langkah yudisial yang berpotensi menimbulkan perubahan signifikan dalam sistem demokrasi.

"Secara substantif, putusan ini menciptakan norma hukum baru yang setara dengan undang-undang," kata Aryana.

"Sehingga memiliki dampak konstitusional yang fundamental dan wajib diuji kembali jika menimbulkan kerugian konstitusional nyata bagi warga negara dan pemilih," sambungnya.

Ada sejumlah implikasi berdasarkan pencermatan Aryana atas Putusan MK itu, yakni:

1. Potensi Pelanggaran Periodisitas Konstitusional

Putusan MK dinilai menciptakan norma baru yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 hingga 2031. Hal ini dianggap melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan pemilu setiap lima tahun serta Pasal 18 ayat (3) yang menyatakan anggota DPRD dipilih melalui pemilu. Perpanjangan tanpa mandat baru melemahkan prinsip kedaulatan rakyat.

2. Pelemahan Akuntabilitas dan Representasi Demokratis

Dengan tidak adanya pemilu dalam lima tahun, anggota DPRD kehilangan momen evaluasi oleh pemilih. Ini dinilai bisa mengurangi akuntabilitas, legitimasi, dan responsivitas terhadap konstituen, serta menciptakan pemerintahan lokal yang terputus dari rakyat.

Baca juga: Pemisahan Pemilu Nasional-Daerah Tak Jamin Integritas, Banyak Faktor Perlu Dibenahi

3. Klaim Turunnya Partisipasi Dinilai Tidak Berdasar

MK menyebut kompleksitas pemilu serentak menurunkan kualitas partisipasi. Namun Aryana menegaskan data menunjukkan sebaliknya—partisipasi pemilih di Pemilu 2019 dan 2024 sangat tinggi, mencapai di atas 81 persen.

Ini menandakan keterlibatan kuat publik dan menunjukkan bahwa sistem serentak justru memperkuat demokrasi.

4. Suara Tidak Sah Bukan Akibat Keserentakan

Tingginya suara tidak sah tidak bisa semata dikaitkan dengan keserentakan pemilu.

Fenomena itu bersifat multidimensional, bisa karena protes, kurangnya sosialisasi, pendidikan pemilih yang rendah, hingga manajemen pemilu. Solusinya ada pada reformasi penyelenggaraan dan peningkatan edukasi politik.

5. Ancaman Terhadap Penguatan Institusi Partai Politik

Pemilu serentak dinilai memperkuat partai politik melalui efek ekor jas.

Jika dipisah, hal itu dikhawatirkan menghambat konsolidasi partai dan memperparah fragmentasi politik.

Selain itu, putusan MK ini juga berpotensi menimbulkan konflik hukum dengan UU Pilkada dan menciptakan ketidakpastian dalam pencalonan kepala daerah, karena data pemilu bisa menjadi tidak relevan dalam rentang tujuh tahun

Permohonan Aryana dkk ini secara spesifik menguji Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Ketentuan-ketentuan ini, sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan MK mereka yakini bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan