UU Pemilu
Singgung Evaluasi Total Pemilu, Cak Imin Dukung Pilkada Dipilih DPRD
Cak Imin mendukung wacana pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD atau pemilu tidak langsung.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mendukung wacana pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD atau pemilu tidak langsung.
Hal itu dikatakan Cak Imin di depan Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya di Hari Lahir ke-27 PKB.
Baca juga: Pemerintah Sebut Pemilu Sudah Siap Pakai E-Voting, KPU: Perlu Dipikirkan Lagi
Awalnya, Cak Imin melaporkan kepada Prabowo soal langkah yang sudah dilakukan PKB soal penyempurnaan tata kelola politik nasional.
"Perlu dibuat satu perundang-undangan dari sistem politik nasional kita yang benar-benar kondusif bagi percepatan pembangunan nasional. Salah satunya yang kami juga telah menyampaikan kepada bapak presiden langsung, saatnya pemilihan kepala daerah, dilakukan evaluasi total manfaat dan mudaratnya," kata Cak Imin di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Cak Imin menjelaskan bahwa beberapa kepala daerah melakukan konsolidasi politik yang lamban.
"Akibat proses politik yang terlalu panjang. Kalau tidak ditunjuk oleh pusat, Pilkada maksimal dipilih DPRD di seluruh tanah air," katanya.
Namun, Cak Imin mengaku usulan ini menantang karena banyak terjadi penolakan.
"Tetapi PKB bertekad tujuannya hanya satu, efektivitas dan percepatan pembangunan tanpa berliku-liku dalam satu tahapan demokrasi. Apalagi ada isu, belum putus di DPR, pemisahan pilkada dan pemilihan umum. Dari keputusan itu yang disetujui rekan-rekan penundaan pemilu DPRD saja. Yang lain tidak setuju katanya," kata dia.
"Kita berharap di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto akan terjadi konsolidasi demokrasi yang efektif, bagi terwujudnya tujuan demokrasi yaitu keadilan dan kemakmuran," tandas Cak Imin.
Pemilu 2029 Tidak Serentak
Sebelumnya MK memutuskan Pemilu 2029 tidak serentak.
Dalam putusan yang dibacakan dalam sidang pada Kamis (26/6/2025), hakim konstitusi mengumumkan pelaksanaan antara Pemilu dan Pilkada harus ada selisih waktu maksimal dua tahun atau 2,5 tahun.
Sehingga, MK menyatakan norma dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai:
"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."
Hakim juga membeberkan alasan sehingga memutuskan Pemilu mulai tahun 2029 tidak lagi digelar serentak.
Pertama, beban kerja penyelenggara pemilu yang dirasa semakin berat ketika pemilu digelar serentak sehingga turut mempengaruhi kualitas penyelenggaraannya.
Hal ini berkaca dari penyelenggaraan Pemilu 2024 sebelumnya yang digelar secara serentak.
"Pertembungan tahun penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, berakibat terjadinya impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPR, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan sejumlah tahapan awal dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil wali kota," ujar Hakim Konstitusi, Arief Hidayat.
Dengan adanya fakta berhimpitan tersebut, lanjut Arief, maka sejumlah tahapan pemilihan umum tersebut tidak bisa dicegah atau dihindari terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu yang dalam batas penalaran yang wajar berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum.
Selain berpengaruh terhadap penyelenggaraannya, pemilu serentak juga berdampak terhadap partai politik (parpol) dalam mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi.
Pasalnya, parpol seakan dipaksa untuk mempersiapkannya secara instan ribuan kadernya untuk berkompetisi di dalam pemilu serentak, yaitu dari Pileg, Pilkada, hingga Pilpres. "Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik," kata Arief.
Hakim juga menganggap pemilu serentak membuat parpol tidak berdaya sehingga lebih mengedepankan politik praktis seperti memilih calon yang akan berkontestasi hanya berdasarkan popularitasnya saja serta berdasarkan keinginan pemilik modal.
Sehingga, membuat perekrutan calon-calon yang akan mengisi jabatan publik lewat pemilu hanya bersifat transaksional saja.
Tak cuma berdampak ke parpol dan penyelenggaranya, pemilu serentak menurut hakim MK juga berpengaruh terhadap masyarakat atau pemilih.
Hakim menganggap pemilu serentak justru membuat pemilih jenuh karena banyaknya calon yang harus dipilih yaitu dari level DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD, hingga Presiden dan Wakil Presiden.
UU Pemilu
| Titi Anggraini Ingatkan DPR Segera Revisi UU Pemilu: Jika Tidak, Gugatan ke MK Terus Bertambah |
|---|
| Soal Pemisahan Pemilu, MPR RI Ingatkan Putusan MK Harus Selaras dengan Prinsip Sistem Pemerintahan |
|---|
| Jimly Asshiddiqie Soal Masa Transisi Pemilu 2029: Perpanjang Saja DPRD 2 Tahun, Apa Masalahnya? |
|---|
| Usulkan Pilkada Dipilih DPRD Provinsi, Cak Imin Bantah Disebut Ingin Menyenangkan Prabowo |
|---|
| Gugat Ambang Batas Parlemen ke MK, Partai Buruh Bawa Data Jutaan Suara Terbuang |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.