UU Pemilu
Soal Pemisahan Pemilu, MPR RI Ingatkan Putusan MK Harus Selaras dengan Prinsip Sistem Pemerintahan
Agun Gunandjar Sudarsa menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan antara pemilu nasional dan Pilkada
Penulis:
Chaerul Umam
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Wakil Ketua Badan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa, menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Ia menekankan bahwa putusan tersebut perlu dikaji secara mendalam dalam konteks sistem pemerintahan presidensial dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertajuk “Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu” yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025), Agun menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung supremasi konstitusi.
"Indonesia adalah negara hukum. Yang 'supreme' itu bukan kekuasaan, tapi hukum. Maka negara kita adalah negara dengan supremasi konstitusi,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa setiap produk hukum, termasuk undang-undang, harus disusun berdasarkan konstitusi.
Jika ada pihak yang merasa dirugikan, mekanisme pengujian konstitusional melalui MK dapat ditempuh.
Baca juga: Putusan MK Soal Pemilu Dipisah Kembali Digugat, Enny Nurbaningsih: Kami Proses Sesuai Hak Acara
Namun, ia mengingatkan bahwa putusan MK pun tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar sistem pemerintahan Indonesia.
Agun menilai bahwa pemilu nasional dan Pilkada memiliki karakteristik yang berbeda.
Berdasarkan sistem presidensial dan pembagian kewenangan dalam UUD 1945, kepala daerah tidak harus dipilih bersamaan dengan presiden dan legislatif.
“Kepala daerah itu bagian dari sistem pemerintahan daerah dalam NKRI. Mereka dipilih secara demokratis, tapi tidak harus dalam pemilu serentak dengan nasional. Itu diatur dalam Pasal 18 UUD 1945,” jelasnya.
Agun juga menyoroti peran MK sebagai pengadilan konstitusi yang tidak seharusnya menjadi penentu langsung arah kebijakan pemerintahan atau legislasi.
Menurutnya, pembentukan undang-undang tetap menjadi ranah DPR bersama pemerintah.
“Saya hormati putusan MK, tapi bukan berarti DPR dan pemerintah harus berhenti berpikir. Justru kita harus menyesuaikan putusan itu dalam pembuatan regulasi. DPR adalah pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 20,” ujar politisi Partai Golkar tersebut.
Ia juga mempertanyakan pelaksanaan teknis dari putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
“Putusan MK itu final dan mengikat, tapi tidak otomatis berlaku langsung. Pertanyaannya, yang diputus itu berlaku sejak kapan? Apakah serta merta atau ke depan? Nah, ini yang sering tidak dijelaskan,” tambahnya.
UU Pemilu
Arteria Dahlan Usul Seluruh Hakim MK Dilaporkan ke Polisi Buntut Hapus Pemilu Serentak |
---|
Mahfud MD Sebut Putusan MK yang Berujung Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Inkonstitusional, Tapi Final |
---|
Singgung Evaluasi Total Pemilu, Cak Imin Dukung Pilkada Dipilih DPRD |
---|
Wamendagri: Efisiensi Dalam RUU Pemilu Jangan Sampai Mengorbankan Substansi Demokrasi |
---|
Revisi UU Pemilu Belum Dibahas DPR Usai Putusan MK, Komisi II Tunggu Momentum |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.