RUU KUHAP
Respons DPR Soal KPK Kritik Aturan Praperadilan di RKUHAP Hambat Penanganan Perkara Korupsi
Soedeson Tandra, angkat bicara terkait kritik yang menyebut bahwa pengaturan praperadilan dalam RKUHP bisa menghambat proses sidang pokok perkara.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar Soedeson Tandra, angkat bicara terkait kritik yang menyebut bahwa pengaturan praperadilan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) bisa menghambat proses sidang pokok perkara tindak pidana korupsi.
Dia menegaskan bahwa praperadilan merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dihormati, bahkan jika itu berarti proses pokok perkara harus ditunda sementara.
"Jadi begini ya, praperadilan itu adalah keberatan warga negara atas tindakan yang diambil oleh alat negara, penyidik, penuntut,” kata Soedeson kepada Tribunnews.com, Jumat (25/7/2025).
Menurutnya, penghormatan terhadap hak warga negara untuk menggugat tindakan aparat penegak hukum adalah cerminan dari negara yang menjunjung tinggi keadilan dan prosedur hukum.
“Nah, negara itu harus menghormati warga negaranya manakala warga negara keberatan terhadap tindakan dia, maka dia harus menghormati. Ya, silakan,” ucapnya.
Soedeson juga menjelaskan bahwa kewenangan aparat penegak hukum sangat besar, bahkan bisa mencakup pengambilan nyawa dalam kondisi tertentu.
Sebab itu, semua tindakan aparat harus tunduk pada prosedur hukum yang ketat.
“Kenapa demikian? Aparat penegak hukum itu sudah diberikan kewenangan yang sangat besar, bahkan merampas nyawa orang pun boleh, apalagi merampas harta, apalagi menahan, apalagi menindak, kan begitu kan. Tetapi itu harus dikerjakan sesuai dengan prosedur. Maka itu kita atur seperti itu,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan jika warga negara merasa dirugikan dan mengajukan praperadilan, negara seharusnya tidak langsung melanjutkan sidang pokok perkara sebelum gugatan tersebut selesai.
“Jadi kalau warga negara itu masih mau keberatan terhadap tindakan negara terhadap dirinya, maka negara harus menghormati. Saya stop dulu ya pokok perkara, gitu loh,” katanya.
Menurutnya, memberi ruang terhadap proses praperadilan bukanlah bentuk kelemahan dalam penegakan hukum, tetapi justru bagian dari sistem yang menjamin keadilan prosedural.
“Sehingga silakan periksa, prosedur selesai, maju. Apa salahnya sih kita menunggu? Kan begitu kan. Apa salahnya? Gitu. Nah, ini supaya sistematika kita itu bisa berjalan,” pungkas Soedeson.
Baca juga: Komisi III Jawab KPK Soal Izin Penyitaan dari Pengadilan dalam RKUHAP: Demi Negara Hukum yang Tertib
Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan pihaknya telah mengidentifikasi 17 poin krusial yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi mengebiri kewenangan khusus yang dimiliki KPK dalam memberantas korupsi.
"Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan dan ini masih terus kami diskusikan," kata Budi dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).
Kekhawatiran utama KPK berpusat pada potensi degradasi status hukum UU KPK sebagai lex specialis yang seharusnya mengesampingkan hukum acara umum.
Menurut KPK, RUU KUHAP memuat pasal-pasal yang dapat meniadakan kekhususan tersebut, sehingga mengancam efektivitas kerja KPK mulai dari tahap penyelidikan hingga penuntutan.
Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP:
1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".
2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.
3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.
4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.
5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.
6. Penetapan Tersangka Baru: Penetapan tersangka baru ditentukan setelah penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti, sedangkan KPK sudah dapat menetapkan tersangka sejak perkara naik status dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.
7. Penghentian Penyidikan: Penghentian penyidikan dalam RUU KUHAP disebut wajib melibatkan penyidik Polri. Sementara KPK berwenang secara independen memberhentikan penyidikan dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas KPK.
8. Birokrasi Baru Penyerahan Berkas: RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.
9. Pembatasan Wewenang Penggeledahan: RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.
10. Izin Penyitaan dari Pengadilan: RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.
11. Izin Penyadapan dari Pengadilan: RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.
12. Pembatasan Pencegahan ke Luar Negeri: RKUHAP membatasi larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka, padahal KPK seringkali perlu mencegah saksi atau pihak terkait lainnya.
13. Proses Praperadilan Menghambat Sidang Pokok Perkara: RKUHAP mengatur pokok perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung, bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana.
14. Kewenangan Perkara Koneksitas Tak Diakomodir: Kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan perkara koneksitas (melibatkan sipil dan militer) yang telah dikuatkan putusan MK tidak diatur dalam RKUHAP.
15. Monopoli Perlindungan Saksi oleh LPSK: RKUHAP seolah menyerahkan perlindungan saksi hanya kepada LPSK, mengabaikan kewajiban dan hak KPK untuk melindungi saksi dan pelapornya sendiri.
16. Penuntutan Lintas Wilayah Dihambat: RKUHAP mewajibkan penuntut umum mendapat surat pengangkatan sementara dari Jaksa Agung untuk menuntut di luar daerah hukumnya, bertentangan dengan wewenang penuntut KPK yang berlaku di seluruh Indonesia.
17. Ambiguitas Status Penuntut Umum KPK: Definisi Penuntut Umum dalam RKUHAP dinilai berpotensi tidak secara eksplisit mengakui penuntut yang diangkat oleh KPK.
RUU KUHAP
| RUU KUHAP Diharapkan Mampu Menjawab Persoalan Ego Sektoral Penegak Hukum |
|---|
| Ketua Komisi III DPR Habiburokhman Pesimistis RKUHAP Bisa Disahkan dalam Waktu Dekat, Kenapa? |
|---|
| Komisi III Jawab KPK Soal Izin Penyitaan dari Pengadilan dalam RKUHAP: Demi Negara Hukum yang Tertib |
|---|
| Komisi III DPR Pastikan Terbuka Jika KPK Ingin Bahas RKUHAP |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.