Abolisi dan Amnesti dari Presiden RI
THMP Menilai Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto Menyalahi Hukum
Suhadi menganggap pemberian abolisi dan amnesti dari Prabowo kepada Tom Lembong dan Hasto menyalahi hukum yang berlaku
Penulis:
Facundo Chrysnha Pradipha
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto menuai sorotan tajam.
Menurut Koordinator Tim Hukum Merah Putih (THMP), C. Suhadi SH MH, kebijakan tersebut dianggap menyalahi ketentuan hukum yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Darurat No. 11 Tahun 1954.
Suhadi menjelaskan, pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi dengan mempertimbangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Turunan hukumnya, UU Darurat No. 11/1954, secara tegas mengatur bahwa abolisi hanya dapat diberikan pada tahap penuntutan (perkara P-21 atau akan disidangkan), sedangkan amnesti mensyaratkan adanya putusan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
“Perkara ini harus sudah memasuki fase tertentu yaitu, perkara telah berkekuatan hukum yang sudah tidak ada upaya hukum lagi, baru kedudukan Presiden boleh memberi amnesti terhadap Terdakwa Hasto Kristanto,” ujar Suhadi kepada Tribunnews, Senin (4/7/2025).
Dalam kasus Tom Lembong, yang divonis 4,5 tahun penjara atas kasus korupsi impor gula dan sedang dalam proses banding, Suhadi menegaskan, pemberian abolisi tidak tepat.
“Berbekal kepada rumusan hukum di atas dengan berpegang kepada aturan perundang-undangan yang berlaku, abolisi sudah tidak dapat diajukan karena tahapan proses hukum sudah diputus oleh Pengadilan dan para pihak telah mengajukan upaya hukum banding,” katanya.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto, yang divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR dan juga masih dalam proses banding, tidak memenuhi syarat amnesti karena perkaranya belum inkracht.
Suhadi menyoroti, pemberian abolisi dan amnesti ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan independensi yudikatif sesuai teori Trias Politika.
Ia menegaskan, eksekutif tidak boleh mencampuri ranah yudikatif.
“Pemberian amnesti dan abolisi terhadap Hasto dan Tom menyalahi UU. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental yang kita anut, hukum positif adalah yang diadopsi dalam bentuk UUD, UU, dan lain. Merujuk kepada alasan itu, maka acuan dari pemberian hak istimewa berupa amnesti dan abolisi harus merujuk kepada UUD 45 dan UU Darurat No. 11 tahun 1954,” ungkap Suhadi.
Baca juga: Kuasa Hukum Tom Lembong Sikapi Pernyataan Jokowi
Meski demikian, pemberian abolisi dan amnesti ini telah disetujui DPR melalui rapat konsultasi pada 31 Juli 2025, berdasarkan dua surat Presiden tertanggal 30 Juli 2025 (Nomor R-43/Pres/07/2025 untuk abolisi Tom Lembong dan Nomor R-42/Pres/07/2025 untuk amnesti 1.178 orang, termasuk Hasto).
Namun, Suhadi menyampaikan, pemberian abolisi dan amnesti harus dilakukan secara selektif dan sesuai hukum untuk menjaga keadilan.
Opini Suhadi ini disampaikan untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto agar tetap berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik, dengan memastikan penegakan hukum yang adil, transparan, dan tidak memihak, sehingga supremasi hukum tetap terjaga demi kepentingan nasional.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.