Kasus Impor Gula
Kuasa Hukum Tom Lembong Sebut Putusan Hakim soal Ekonomi Kapitalis Fatal, Seret Nama Hakim Alfis
Kuasa hukum Tom Lembong mengatakan bahwa putusan hakim soal ekonomi kapitalis itu sangat fatal dan tidak pernah dibahas selama sidang.
Penulis:
Rifqah
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, mengatakan bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang menyebut kebijakan eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong, condong pada ekonomi kapitalis ketimbang kerakyatan, merupakan keputusan yang fatal.
Sebelum akhirnya mendapatkan abolisi atau penghapusan tuntutan pidana dari Presiden Prabowo Subianto, Tom Lembong dihukum 4,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi impor gula dan diminta membayar denda Rp750 juta.
Dalam perkara ini, Majelis Hakim menilai perbuatan Tom Lembong yang menerbitkan 21 persetujuan impor (PI) gula kristal mentah untuk perusahaan gula swasta dan melibatkan koperasi dalam operasi pasar itu memenuhi unsur pasal yang didakwakan jaksa.
Majelis hakim tidak menghukum Tom Lembong untuk membayar uang pengganti karena tidak menerima aliran dana hasil korupsi.
Namun, hakim menilai Tom Lembong mengedepankan ekonomi kapitalis dalam kebijakan impor gulanya, bukan ekonomi Pancasila.
Argumentasi soal “ekonomi kapitalis” inilah yang menjadi salah satu hal yang memberatkan hukuman Tom Lembong.
Atas hal tersebut, Zaid mengatakan bahwa putusan soal ekonomi kapitalis itu merupakan sesuatu yang sangat fatal.
Karena itu, meski sudah bebas, Tom Lembong tetap melaporkan 3 hakim yang memberikan vonis 4,5 tahun itu ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), atas laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Mereka adalah Hakim Ketua, Dennie Arsan Fatrika dan dua Hakim Anggota yakni Purwanto S Abdullah serta Alfis Setyawan.
Tom Lembong ingin ada evaluasi terhadap proses peradilan yang dijalaninya.
"Kita melaporkan kode etik dan perilaku hakim ke Komisi Yudisial dan Pengawas Mahkamah Agung, dalam laporan tersebut kita lampirkan apa-apa saja yang menjadi dalil kita, termasuk salah satunya yang paling fatal adalah menyatakan ekonomi kapitalistik," kata Zaid dalam wawancara ekslusif bersama Tribunnews.com di program Overview, Rabu (6/8/2025).
Baca juga: Tom Lembong Laporkan 3 Hakim, Pakar Sebut Hakim Belum Tentu Salah: Bisa Saja dari Proses Awalnya
"Ini nggak sesimpel statement pertimbangan ada ekonomi kapitalistik, nggak sesimpel itu, tapi proses hukum itu proses yang harus dilalui melalui penyelidikan, penyidikan, pelimpahan, dakwaan, tuntutan, sampai putusan," sambung Zaid.
Zaid mengatakan, padahal selama proses persidangan berlangsung, tidak pernah ada pembahasan mengenai ekonomi kapitalis yang disebutkan hakim pada saat sidang vonis tersebut.
"Dari sepanjang proses penyelidikan sampai dengan penuntutan itu tidak ada ekonomi kapitalistik, tahu-tahu hakim mendapat wangsit dari mana kita nggak tahu, entah bisikan dari mana kita nggak tahu, dia putuskan putusan Pak Tom Lembong ini cenderung ekonomi kapitalistik, ini nggak boleh," ujarnya.
Dengan adanya putusan ekonomi kapitalis ini, Zaid pun mengklaim majelis hakim hanya ingin menghukum Tom Lembong saja dengan terus mencari-cari kesalahan kliennya itu.
Bahkan, Zaid juga menyinggung nama Hakim Anggota Alfis yang menurutnya, sangat ingin menghukum Tom Lembong dalam perkara dugaan korupsi impor gula tersebut.
Zaid sebelumnya menilai bahwa Hakim Alfis tidak netral atau cenderung memvonis sejak awal, bahkan tidak jarang hakim Alfis menyimpulkan dengan tidak mengedepankan sikap presumption of innocence (asas praduga tak bersalah), melainkan dengan sikap presumption of guilty (praduga bersalah).
"Ini kentara sekali dia ini, si hakim bernama Pak Alfis ini ingin menghukum Pak Tom dan mencari-cari kesalahan Pak Tom," tegasnya.
Sebelumnya, Zaid juga menegaskan bahwa laporan dilayangkan terhadap seluruh anggota majelis, tetapi sikap Hakim Alfis menjadi sorotan utama.
Zaid pun sangat menyayangkan sikap majelis hakim tersebut, sebab pada dasarnya persidangan itu untuk mencari kebenaran materil, bukan untuk mencari-cari kesalahan terdakwa atas kasus yang menjeratnya.
"Persidangan dan hukum acara pidana itu proses mencari suatu kebenaran materil, bukan mencari kesalahan terdakwa atau mencari bukti dari kesalahan terdakwa. Kalau kayak gitu, untuk apa kita sidang, langsung saja kita putus dia bersalah ya kan, buktinya nanti kita cari," jelas Zaid.
"Ini yang kita sangat menyayangkan dugaan pelanggaran perilaku dan profesional kode etik dari majelis hakim ini yang kita sangat rasakan sepanjang perjalanan," ucapnya.
Perjalanan Kasus Hukum Tom Lembong
Perjalanan hukum kasus Lembong berawal pada Oktober 2024, saat Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka atas dugaan korupsi izin impor gula pada periode 2015–2016.
Setelah menjalani persidangan intensif dengan lebih dari 90 saksi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian memvonis Lembong 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta (subsider 6 bulan kurungan).
Majelis hakim mengklaim terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan negara dirugikan.
Namun, Tom Lembong membantah niat jahat (mens rea), dan timnya pun mengajukan banding pada 22 Juli 2025 di tengah kritik terhadap pertimbangan hukum yang dianggap bias.
Situasi kemudian berubah saat Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi atas nama Tom Lembong, yang disetujui oleh DPR pada 31 Juli 2025.
Pemberian abolisi itu melalui Surat Presiden R-43/Pres/07/2025 pada tanggal 30 Juli 2025.
Lalu, dalam waktu kurang dari 24 jam setelah persetujuan DPR itu, Keputusan Presiden dikeluarkan dan seluruh proses hukum terhadap Tom Lembong dihentikan efektif, sehingga membuatnya bebas tanpa syarat.
Sebelumnya, keterlibatan Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula bermula pada 2015.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, dalam rapat koordinasi antar-kementerian pada 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak perlu impor gula.
Namun, Tom Lembong yang saat itu menjabat sebagai Mendag memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah kepada PT AP.
“Saudara TTL (Tom Lembong) memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih,” ujar Qohar.
Padahal, jika merujuk pada Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berhak melakukan impor gula kristal putih.
“Berdasarkan Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Tersangka TTL, dilakukan oleh PT AP dan impor GKM tersebut tidak melalui rakor dengan instansi terkait,” kata Qohar.
"Padahal dalam rangka pemenuhan stok dan stabilisasi harga seharusnya diimpor adalah gula impor putih secara langsung dan yang boleh melakukan impor tersebut hanya BUMN," tambahnya.
Atas perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian yang diperkirakan mencapai Rp 400 miliar. Adapun Tom Lembong dan CS terancam dikenakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(Tribunnews.com/Rifqah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.