Kamis, 14 Agustus 2025

Royalti Musik

DPR Minta LMKN Benahi Sistem dan Transparansi Royalti, Jangan Hanya untuk Mengejar Kumulatif

Anggota Komisi XIII DPR, Yanuar mengatakan praktik penarikan royalti saat ini kerap tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan.

Penulis: Reza Deni
Editor: Dewi Agustina
/Tribunnews/Chatgpt AI/Akbar Perm
ROYALTI - Anggota Komisi XIII DPR RI, Yanuar Arif Wibowo, menegaskan perlunya transparansi dan pembenahan sistem pengelolaan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Foto infografis royalti musik bagi pengunanya di ruang publik wajib bayar jika digunakan untuk kepentingan komersial, sesuai Peraturan Menkumham Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. (Tribunnews/Chatgpt AI/Akbar Permana) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XIII DPR RI, Yanuar Arif Wibowo, menegaskan perlunya transparansi dan pembenahan sistem pengelolaan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Menurut Yanuar, praktik penarikan royalti saat ini kerap tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti kafe kecil, angkringan, hingga warung di desa-desa.

Baca juga: Tanggapan WAMI Soal Royalti Bikin Ari Lasso Geram: Itu Kecerobohan yang Bodoh!

LMKN adalah lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk menarik, menghimpun, dan menyalurkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait atas penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial.

"Jangan hanya untuk mengejar kumulatif, kemudian pemilik royalti dan pengguna secara umum, apalagi UMKM kita yang baru tumbuh, itu ditekan sedemikian rupa," ujar Yanuar kepada wartawan, Rabu (13/8/2025).

 

 

Yanuar mengingatkan bahwa hubungan antara pemilik royalti dan pengguna bersifat keperdataan. 

Jika pemilik karya telah membebaskan lagunya untuk digunakan publik, LMKN seharusnya tidak memungut royalti.

Royalti adalah imbalan atau pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak atas suatu karya atau aset karena pihak lain menggunakan atau memanfaatkan hak tersebut. 

Ini bisa berupa karya seni, hak cipta, paten, sumber daya alam, atau bentuk kekayaan intelektual lainnya.

"Kalau pemilik propertinya sendiri sudah membebaskan, misalnya seperti Dewa atau Haji Rhoma Irama, untuk digunakan, ya sudah, itu jangan ditarik. Jangan sampai orang membayar royalti tapi tidak tepat sasaran," tegasnya.

Yanuar juga menyoroti keterlambatan penyelesaian Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) yang diamanatkan undang-undang.

Keberadaan sistem ini dinilai penting untuk memastikan pembayaran royalti tepat sasaran sekaligus meningkatkan kepercayaan publik.

"LMKN ini harus berbenah. Sistem yang transparan dan terbuka akan membuat kepercayaan publik meningkat. Jangan malah membuat kegaduhan di masyarakat, fokus perbaiki sistemnya," kata Legislator PKS itu.

Dia berharap LMKN mampu menjaga keseimbangan ekosistem musik dan usaha di Indonesia, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor kecil dan mikro.

"Kita ingin pemilik properti mendapatkan haknya dengan tepat, usaha kecil tetap tumbuh, dan masyarakat senang dengan produk musisi kita," pungkasnya.

Diketahui, kewajiban membayar royalti atas penggunaan lagu atau musik di ruang publik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 

Hal ini berlaku bagi tempat-tempat usaha seperti hotel, pusat perbelanjaan, restoran, dan kafe yang memutar musik secara komersial.

Menanggapi fenomena sejumlah pelaku usaha yang mulai menghindari pemutaran lagu dengan mengganti suara alam atau kicauan burung.

Namun Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa hal tersebut tetap tidak menghapus kewajiban royalti jika suara alam yang digunakan berasal dari rekaman.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan