Sabtu, 1 November 2025

RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset Diminta Segera Disahkan, Hardjuno: Jangan Tunggu Rakyat Marah

Hardjuno menegaskan korupsi menjadi biang kerok dari semua persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini.

Penulis: Hasanudin Aco
istimewa
RUU PERAMPASAN ASET - Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho. Hardjuno Wiwoho mendesak DPR RI mengesahkan RUU Perampasan Aset secepatnya tanpa harus menunggu rakyat marah. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mendesak DPR RI mengesahkan RUU Perampasan Aset secepatnya tanpa harus menunggu rakyat marah.

Hal ini penting mengingat kondisi sosial dan psikologis masyarakat sudah sangat jenuh dan frustrasi dengan lemahnya penegakan hukum terhadap koruptor.

Baca juga: Mahfud MD Jelaskan Mekanisme Perampasan Aset, Sebut Banyak yang Komentar tapi Belum Paham

Menurutnya, ketidakpekaan legislator bisa memantik gejolak sosial.

Bahkan situasi ini bisa berubah menjadi krisis sosial yang lebih dalam jika negara terus menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani akar masalah.

Baca juga: RUU Perampasan Aset Ditargetkan Selesai Tahun Ini, Dibahas Pararel dengan RUU KUHAP

“Lihat apa yang terjadi di Nepal, Sri Lanka, bahkan Chile. Kemarahan publik terhadap elite yang tidak berubah bisa meledak sewaktu-waktu. Kalau DPR masih bicara soal proses administratif, itu berarti mereka gagal membaca detak jantung rakyat,” tegas Hardjuno di Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Pernyataan ini disampaikan menanggapi pernyataan Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, yang menyebut bahwa usulan RUU Perampasan Aset baru akan masuk ke Prolegnas Prioritas 2025 dan menunggu keputusan rapat paripurna.

Hardjuno menegaskan korupsi menjadi biang kerok dari semua persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini.

Jika pelaku korupsi yang tidak ditangani akan semakin mempersulit perkembangan Indonesia karena korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan investasi, meningkatkan kemiskinan, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.

Akibatnya, anggaran negara dan masyarakat menjadi terbebani, kualitas pelayanan publik menurun, dan kesenjangan sosial semakin lebar, menghalangi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju.

“Ulah koruptor inilah yang belakangan ini menimbulkan bencana sosial di masyarakat. Karena itu, saya minta stop dan hentikan berwacana soal RUU Perampasan Aset. Hari ini publik tidak sedang menunggu wacana. Mereka menuntut tindakan. RUU ini tidak cukup sekadar dimasukkan dalam daftar. DPR harus segera bahas isinya secara konkret, pasal per pasal. Bukan ditunda, bukan dijanjikan,” ujarnya.

Negara Harus Memiskinkan Koruptor

Kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini  kembali menekankan bahwa substansi dari RUU Perampasan Aset tidak boleh berhenti pada prosedur teknis penyitaan. 

RUU ini harus dibingkai sebagai langkah awal dalam strategi nasional pemiskinan koruptor—bukan hanya mengambil aset yang terbukti hasil korupsi, tapi juga memberlakukan sistem illicit enrichment terhadap kekayaan tak wajar.

“Ini bukan soal harta bukti kejahatan semata. Ini soal gaya hidup pejabat yang tidak bisa dijelaskan asal muasalnya. RUU ini harus disertai keberanian moral untuk memiskinkan koruptor secara sistemik,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset hanya boleh digunakan untuk tindak pidana kelas berat seperti mega-korupsi dan kejahatan terorganisir, dengan ambang batas kerugian negara minimal Rp1 triliun. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved