Jumat, 26 September 2025

RUU KUHAP

 RDP dengan Komisi III DPR, Wamen HAM Sampaikan 10 Poin Masukan Terkait RKUHAP

Mugiyanto menilai Pasal 21 terlalu generik karena hanya menyebut adanya kekhawatiran melarikan diri.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews.com/Chaerul Umam
RAPAT RKUHAP - Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto, memaparkan sepuluh isu krusial terkait hak asasi manusia yang harus diperhatikan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin (22/9/2025). 

“Rekomendasi kami adalah larangan ditahan di kantor penyidik. Wajib pemisahan tahanan praperadilan dan narapidana sesuai dengan ICCPR Pasal 10, Mandela Rules, serta Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 11,” ujarnya.

Isu keenam menyangkut penahanan sewenang-wenang dan kompensasi.

“Ini tidak ada kompensasi otomatis. Rekomendasi kami adalah supaya ditambahkan mekanisme kompensasi segera, efektif, dan mencakup pemulihan penuh. Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 5, serta Konvensi Anti Penyiksaan terkait hak atas reparasi,” ujar Mugiyanto.

Ketujuh, mengenai otoritas penahanan. Menurutnya, Pasal 20 memberi peran dominan pada penyidik dan penuntut.

“Rekomendasi kami hanya hakim yang independen boleh memperpanjang penahanan. Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 3, General Comment 35, dan Konvensi Anti Penyiksaan,” jelasnya.

Kedelapan, terkait bantuan hukum. Pasal 54 disebut masih terlalu umum.

“Rekomendasi kami adalah adanya akses sejak awal penangkapan, komunikasi privat, penasihat hukum yang efektif. Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 14 Ayat 3, General Comment No. 32, dan Konvensi Anti Penyiksaan,” paparnya.

Kesembilan, soal alat bukti. Mugiyanto menyoroti Pasal 184 yang belum tegas melarang bukti hasil penyiksaan.

“Rekomendasi kami adalah penting untuk menegaskan adanya exclusionary rule, larangan mutlak bukti dari proses penyiksaan. Ini secara tegas diatur dalam ICCPR Pasal 14 Ayat 3 serta Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 15,” katanya.

Sementara itu, isu kesepuluh adalah soal penyadapan.

“Belum ada pengawasan judicial yang kuat. Rekomendasi kami adalah kewajiban adanya izin dari hakim hanya untuk tindak pidana serius, jangka waktu terbatas, adanya aspek akuntabilitas, dan pemberitahuan pasca penyadapan. Ini juga diatur dalam ICCPR Pasal 17 serta General Comment Nomor 16,” pungkasnya.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan