Rabu, 10 September 2025

RUU KUHAP

Respons DPR Soal KPK Kritik Aturan Praperadilan di RKUHAP Hambat Penanganan Perkara Korupsi

Soedeson Tandra, angkat bicara terkait kritik yang menyebut bahwa pengaturan praperadilan dalam RKUHP bisa menghambat proses sidang pokok perkara.

Tangkap layar akun Youtube TV Parlemen
PEMBAHASAN RUU KUHAP - Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Selasa (22/07/2025). Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar Soedeson Tandra, angkat bicara terkait kritik yang menyebut bahwa pengaturan praperadilan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) bisa menghambat proses sidang pokok perkara tindak pidana korupsi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar Soedeson Tandra, angkat bicara terkait kritik yang menyebut bahwa pengaturan praperadilan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) bisa menghambat proses sidang pokok perkara tindak pidana korupsi.

Dia menegaskan bahwa praperadilan merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dihormati, bahkan jika itu berarti proses pokok perkara harus ditunda sementara.

"Jadi begini ya, praperadilan itu adalah keberatan warga negara atas tindakan yang diambil oleh alat negara, penyidik, penuntut,” kata Soedeson kepada Tribunnews.com, Jumat (25/7/2025).

Menurutnya, penghormatan terhadap hak warga negara untuk menggugat tindakan aparat penegak hukum adalah cerminan dari negara yang menjunjung tinggi keadilan dan prosedur hukum.

“Nah, negara itu harus menghormati warga negaranya manakala warga negara keberatan terhadap tindakan dia, maka dia harus menghormati. Ya, silakan,” ucapnya.

Soedeson juga menjelaskan bahwa kewenangan aparat penegak hukum sangat besar, bahkan bisa mencakup pengambilan nyawa dalam kondisi tertentu. 

Sebab itu, semua tindakan aparat harus tunduk pada prosedur hukum yang ketat.

“Kenapa demikian? Aparat penegak hukum itu sudah diberikan kewenangan yang sangat besar, bahkan merampas nyawa orang pun boleh, apalagi merampas harta, apalagi menahan, apalagi menindak, kan begitu kan. Tetapi itu harus dikerjakan sesuai dengan prosedur. Maka itu kita atur seperti itu,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan jika warga negara merasa dirugikan dan mengajukan praperadilan, negara seharusnya tidak langsung melanjutkan sidang pokok perkara sebelum gugatan tersebut selesai.

“Jadi kalau warga negara itu masih mau keberatan terhadap tindakan negara terhadap dirinya, maka negara harus menghormati. Saya stop dulu ya pokok perkara, gitu loh,” katanya.

Menurutnya, memberi ruang terhadap proses praperadilan bukanlah bentuk kelemahan dalam penegakan hukum, tetapi justru bagian dari sistem yang menjamin keadilan prosedural.

“Sehingga silakan periksa, prosedur selesai, maju. Apa salahnya sih kita menunggu? Kan begitu kan. Apa salahnya? Gitu. Nah, ini supaya sistematika kita itu bisa berjalan,” pungkas Soedeson.

Baca juga: Komisi III Jawab KPK Soal Izin Penyitaan dari Pengadilan dalam RKUHAP: Demi Negara Hukum yang Tertib

Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan pihaknya telah mengidentifikasi 17 poin krusial yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi mengebiri kewenangan khusus yang dimiliki KPK dalam memberantas korupsi.

"Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan dan ini masih terus kami diskusikan," kata Budi dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).

Kekhawatiran utama KPK berpusat pada potensi degradasi status hukum UU KPK sebagai lex specialis yang seharusnya mengesampingkan hukum acara umum. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan