Selasa, 28 Oktober 2025

Gelar Pahlawan Nasional

KontraS: Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional, Otoriter Selama 32 Tahun

Jane menegaskan, gelar Pahlawan Nasional seharusnya adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara.

AGUS LOLONG / AFP FILES / AFP
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - File foto tertanggal 22 Mei 1998 ini menunjukkan mantan Presiden Indonesia Soeharto memberi hormat kepada para pengawal dan staf saat meninggalkan Istana Kepresidenan di Jakarta tak lama setelah mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto. 

 

Ringkasan Berita:

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto.

"Sosok Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional lantaran rekam jejaknya dalam kejahatan HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta gaya kepemimpinan otoriter selama 32 tahun menjabat," kata Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia, kepada Tribunnews.com, Senin (27/10/2025).

Baca juga: Golkar Dukung Soeharto Dapat Gelar Pahlawan, Berkas Sudah Masuk ke Dewan GTK

Jane menegaskan, gelar Pahlawan Nasional seharusnya adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara. 

Ia menyebut, gelar itu seharusnya diberikan kepada individu yang telah berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, menjaga keutuhan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik. 

"Selama masa Orde Baru, ia (Soeharto) menjalankan pemerintahan dengan pola kekuasaan yang otoriter dan represif yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat Indonesia," ujar Jane.

KontraS mencatat, sejumlah kebijakan dan operasi keamanan pada masa pemerintahan Soeharto mengakibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM). 

Bentuk pelanggaran itu, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, serta perampasan tanah dan diskriminasi sosial yang sistematis.

Menurut Jane, penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menemukan sedikitnya sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto.

Peristiwa itu antara lain: peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998).

Kemudian, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).

Selain itu, kata Jane, pada masa Orde Baru juga terjadi berbagai pelanggaran HAM lain, seperti pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin (1996), penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, hingga pembantaian di Santa Cruz, Dili (1991).

KontraS juga menyoroti pembredelan media massa, penggusuran warga untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (1971), pelarangan aktivitas organisasi mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974–1975), serta pemberangusan organisasi kemasyarakatan lewat UU No. 5 Tahun 1985.

Baca juga: Muzani: Gelar Pahlawan Nasional Soeharto Tunggu Keppres, TAP MPR Sudah Clear

"Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional berarti juga menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif yang belum pulih, khususnya bagi perempuan korban kekerasan negara," tegas Jane.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved