Rabu, 29 Oktober 2025

20 Persen Sampah Nasional Berupa Plastik, Menteri LH: Dibakar Salah, Dibiarkan juga Salah

Menteri Lingkungan Hidup mengungkap 20 persen sampah nasional merupakan jenis sampah plastik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
SAMPAH PLASTIK - Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq dalam acara Forum Plastic, Climate, Biodiversity Nexus yang digelar Kementerian LH dan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025). Ia mengungkap 20 persen sampah nasional merupakan jenis sampah plasti 
Ringkasan Berita:
  • Pemusnahan sampah plastik melalui pembakaran menimbulkan masalah pencemaran baru
  • 20 persen sampah nasional adalah sampah plastik yang tidak bisa terurai
  • Alat pengolahan sampah menjadi bahan bakar belum maksimal

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengungkap 20 persen sampah nasional merupakan jenis sampah plastik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. 

Pengelolaan sampah plastik sangat rumit.

Pemusnahan sampah plastik secara instan seperti melalui pembakaran, justru menimbulkan masalah pencemaran baru.

Bahkan lebih berbahaya jika pemusnahannya tidak sesuai ketentuan dan prinsip lingkungan, karena berdampak munculnya dioksin furan atau senyawa beracun yang timbul akibat pembakaran tidak sempurna.

“Hampir 17 sampai 20 persen sampah nasional itu adalah sampah plastik yang tidak bisa terurai, yang akhirnya kalau dibakar menimbulkan problem dioksin furan, kalau kita biarkan menimbulkan problem mikroplastik,” kata Hanif dalam Forum Plastic, Climate, Biodiversity Nexus yang digelar Kementerian LH dan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).

Selain itu, tanggung jawab produsen untuk mengelola sampahnya sendiri belum terbangun dengan kokoh.

Baca juga: 10 Negara Penyumbang Sampah Plastik Terbesar: AS Hasilkan 42 Juta Metrik Ton, Indonesia Masuk Daftar

“Plastik kita sudah numpuk. Sementara kewajiban kita untuk extended producer responsibility (tanggung jawab produsen) belum kita bangun dengan kokoh,” kata dia.

Jika sampah-sampah plastik ini sampai ke sungai dan laut, hal itu akan menimbulkan marine debris atau sampah dari manusia yang dapat mengancam biota laut, seperti hewan terjerat atau menelannya, hingga menyebabkan polusi dan merusak ekosistem laut.

“Kalau jatuh ke sungai, maka menimbulkan marine debris yang sangat berbahaya buat biodiversity. Ini masalah problem yang tidak, tidak sederhana,” jelasnya.

Baca juga: Masjid di Garut Dibangun dari 12 Ton Sampah Plastik, Diprediksi Bisa Selamatkan 8 Ribu Pohon

Hanif menyebut Indonesia sebenarnya punya alat pengolahan sampah menjadi bahan bakar atau Refuse-Derived Fuel (RDF) yang berlokasi di Jakarta Utara.

Namun, alat ini belum bisa beroperasi maksimal karena jenis sampah yang masih tercampur.

“Kita memiliki industri pabrik atau fasilitas refuse-derived fuel atau waste-to-fuel dengan kapasitas 2.500 ton per day. Tapi sampai hari ini kita belum bisa operasionalkan RDF Pluit atau Rorotan itu. Masalahnya apa? Masalahnya karena sampah kita masih tercampur,” kata dia.

Berkenaan dengan ini Kementerian LH mengajak semua elemen untuk saling bekerja sama menuntaskan masalah sampah yang tidak kunjung membaik.

Hanif menegaskan, penuntasan masalah sampah tidak bisa diselesaikan tanpa gotong royong.

“Kita detailkan satu persatu secara dengan sangat konkret dan memang harus dilakukan dengan multi-stakeholder. Tidak bisa satu orang bisa menyelesaikan masalah sampah di nasional kita,” tutup dia.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved