Kamis, 6 November 2025

Profil dan Sosok

Sosok Satpam Gugat UU Kepolisian, Syamsul Jahidin Sebut Biaya Pendidikan Tak Sebanding Hasil

Syamsul Jahidin, satpam sekaligus advokat menggugat UU Polri ke MK karena dinilai membuka ruang komersialisasi pengamanan swakarsa

|
Dok. Mahkamah Konstitusi
SATPAM SYAMSUL JAHIDIN - Syamsul Jahidin dalam sidang di Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemohon menggugat aturan tunjangan seumur hidup anggota DPR 
Ringkasan Berita:
  • Syamsul Jahidin, satpam sekaligus advokat asal Mataram, menggugat UU Polri ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai membuka ruang komersialisasi pengamanan swakarsa
  • Ia juga menggugat aturan tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR yang hanya menjabat satu periode
  • Dalam petitum, ia meminta MK menyatakan frasa terkait BUJP dan kewenangan Kapolri dalam UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat

 

TRIBUNNEWS.COM - Syamsul Jahidin, petugas satuan pengamanan (Satpam) asal Mataram menguji sejumlah ketentuan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau UU Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia merupakan sosok yang tak asing lagi berkaitan dengan hukum.

Namanya mondar-mandir dalam pemberitaan media massa belakangan.

Syamsul yang juga advokat ini sebelumnya menjadi sorotan bersama Lita Linggayani Gading atau dr. Lita Gading menggugat aturan tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR.

Dirinya menilai, tunjangan seumur hidup anggota DPR kurang tepat diberikan untuk anggota dewan yang hanya menjabat selama lima tahun (satu periode).

Berbeda dengan aturan tunjangan pensiun yang diberikan kepada ASN maupun TNI dan Polri yang wajib bekerja minimal puluhan tahun.

Sosok Syamsul Jahidin

Pria asal Mataram ini adalah pengacara konstitusional dan managing partner di ANF Law Firm (terdaftar AHU-0000456-AH.01.22 Tahun 2022).

Syamsul merupakan lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah dengan IPK 3,3 pada tahun 2020.

Di tahun yang sama, ia juga menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, STAI Sabili Bandung dengan IPK 3,25. Ia kemudian melanjutkan studi dan meraih gelar Magister Hukum Operasi Militer dari Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) dengan IPK 3,65 pada tahun 2024. ia juga meraih gelar Magister (S2) Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan IPK 3,65 (2023).,

Saat ini Syamsul tengah menempuh pendidikan Magister (S2) Hukum Kesehatan disekolah tinggi hukum militer (2025), serta sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang hukum pada Universitas Borobudur.

Baca juga: Satpam Gugat UU Kepolisian ke MK, Protes Biaya Pelatihan Terlalu Mahal

Sertifikasinya mencakup M.M, CIRP, CCSMS, CCA, dan C.Med, menjadikannya ahli di litigasi, kepailitan, mediasi, serta advokasi konstitusional.

Sebagai anggota Dewan Pengacara Nasional (DPN), ia aktif berbagi ilmu melalui Instagram @syamsul_jahidin, di mana ia membahas kasus-kasus kompleks dan ekspansi firma hukumnya.

Kepada Tribunnews, Syamsul mengungkap masih tercatat sebagai satpam meskipun berprofesi juga sebagai advokat di tengah kesibukannya menjalani kuliah pascasarjana.

"Hingga saat ini saya memegang sertifikasi sebagai assesor atau penguji dan penilai dari Sertifikasi LSP PP Polri, menguji kelayakan personel Satpam," ujarnya dihubungi pada Kamis (30/10/2025).

Sosok Syamsul juga merupakan penggugat tunjangan pensiun seumur hidup bagi mantan anggota DPR.

Gugatan ke MK terdaftar dengan nomor 176/PUU-XXIII/2025 yang diajukan pada 30 September 2025.

Syamsul menargetkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Asas-asas Pemerintahan yang Baik, menyoroti ketidakadilan sistem yang memberikan hak istimewa kepada elite politik sambil merugikan rakyat biasa.

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, mantan anggota DPR yang menjabat hanya satu periode (lima tahun) berhak atas 60 persen gaji pokok seumur hidup, plus tunjangan hari tua Rp15 juta sekali bayar.

Sejak 1980, sekitar 5.175 penerima telah membebani APBN hingga Rp226 miliar.

Menurutnya, rakyat bekerja 10-35 tahun untuk pensiun, sementara dewan hanya lima tahun menerima tunjangan pensiun seumur hidup bahkan bisa diwariskan.

Syamsul menambahkan bahwa status DPR sebagai Lembaga Tinggi Negara tak boleh jadi alasan hak istimewa, bertentangan dengan asas keadilan sosial UUD 1945.

Gugat UU Polri

Baca juga: Sosok Lita Gading dan Syamsul Jahidin, Penggugat Tunjangan Pensiun Seumur Hidup DPR ke MK

Syamsul menilai frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Kepolisian menimbulkan komersialisasi yang terjadi dalam pengelolaan pengamanan swakarsa dan tidak mengenal batasan dalam pengelolaannya.

“Ketentuan norma pasal a quo jelas telah digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan para pejabat Polri untuk menjadi pengusaha aktif terorganisir,” ujar Syamsul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara 195/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (29/10/2025).

Syamsul menegaskan dirinya berhak memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari praktik komersialisasi yang membebani profesi satpam.
 
Ia menilai, pekerjaan yang seharusnya menjamin penghidupan layak justru dipenuhi unsur kapitalistik.

Pria yang juga berprofesi sebagai advokat itu merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan prinsip hukum ditegakkan.

Ia menuturkan, sebelum bekerja sebagai satpam, dirinya diwajibkan mengikuti pendidikan Gada Pratama dengan biaya sekitar Rp 4 juta.
 
Sementara untuk naik jenjang menjadi chief, danru, atau manajer, ia harus menempuh pelatihan Gada Utama yang biayanya mencapai Rp 13,5 juta.

Menurut Syamsul, besarnya biaya tersebut tidak sebanding dengan kewenangan maupun penghasilan satpam. Sehingga menimbulkan ketimpangan dan mengaburkan kepastian hukum.

Ia mengaku telah mendaftar melalui Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) Pelatihan, sementara penyelenggara pelatihan bertindak sebagai fasilitator, dan ijazah serta Kartu Tanda Anggota (KTA) satpam diterbitkan oleh Polri.

Syamsul menilai mekanisme pelatihan ini berpotensi dibatalkan oleh pejabat Polri karena berada dalam ruang lingkup kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Polri.

Dalam petitumnya, Syamsul meminta MK menyatakan bahwa frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” serta “pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Syamsul ingin MK memaknai pasal tersebut menjadi:
 
"Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk pengamanan swakarsa" adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam "lingkungan kuasa tempat" (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan.”

Sidang perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra selaku Ketua Majelis Panel, dengan anggota Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
 
Dalam sesi nasihat perbaikan permohonan, Arsul Sani menyoroti fakta bahwa KTA satpam milik Syamsul telah kedaluwarsa sejak 2021.
 
Meski begitu, Syamsul mengaku masih aktif bekerja sebagai satpam.
 
Arsul pun menekankan, status profesi tersebut perlu dipastikan karena berkaitan langsung dengan kedudukan hukum atau legal standing Syamsul sebagai pemohon dalam perkara ini.

“Karena itu sedikit banyak akan menentukan apakah Pak Jahidin bukan sebagai advokat tetapi sebagai Pemohon lah yang memiliki legal standing atau tidak, jadi menurut saya perlu juga dilampirkan (bukti profesi satpam),” kata Arsul.

9 Penggugat Pensiunan DPR

Gugatan terhadap aturan tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR RI ke Mahkamah Konstitusi (MK), menjadi semakin panas lantaran pemohon dalam permohonan uji materiil terhadap UU Nomor 12 Tahun 1980 bertambah.

Permohonan uji materiil terhadap UU No 12 Tahun 1980 adalah tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.

Para pemohon ini mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 Huruf B, Pasal 1 Huruf F, dan Pasal 12 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 1980, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Mereka menilai bahwa pemberian pensiun kepada anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun tidak adil dan membebani keuangan negara.

Adapun mulanya jumlah penggugat ada dua orang yakni Lita Linggayani Gading atau dr. Lita Gading dan Syamsul Jahidin, kini bertambah menjadi sembilan orang pemohon.

Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi dan daerah, bersatu menyuarakan ketidakadilan dalam pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun.

Baca juga: Dukung Gugatan Tunjangan Pensiun Seumur Hidup DPR ke MK, Salsa Erwina: Gunakan Uang untuk Rakyat!

Berikut sosok kesembilan pemohon yang kini menjadi garda depan dalam gugatan ini:

  1. Dr. Lita Linggayati Gading, M.Psi – Psikiater/Psikolog Sebagai Pemohon I, Dr. Lita adalah seorang profesional di bidang kesehatan mental yang berdomisili di Gading Serpong, Tangerang. Ia menjadi salah satu inisiator gugatan ini, menyuarakan keresahan masyarakat terhadap ketimpangan sistem pensiun DPR. Lita dikenal aktif dalam isu-isu sosial dan keadilan publik.
  2. Syamsul Jahidin, S.I.Kom., S.H., M.I.Kom., M.H.Mil. – Mahasiswa dan Advokat Pemohon II ini berasal dari Mataram, NTB. Selain berprofesi sebagai advokat, Syamsul juga masih aktif sebagai mahasiswa. Ia menjadi salah satu penggugat awal bersama Dr. Lita. Dengan latar belakang hukum dan komunikasi, Syamsul menyuarakan pentingnya keadilan fiskal dan akuntabilitas wakil rakyat.
  3. dr. Ria Merryanti A.P., M.H. – ASN (Aparatur Sipil Negara) Pemohon III adalah seorang dokter sekaligus ASN yang berdomisili di Pontianak. Ia membawa perspektif birokrasi dan pelayanan publik dalam gugatan ini, menyoroti ketimpangan antara hak pensiun ASN dan anggota DPR.
  4. H. Edy Rudianto, S.H., M.H. – Advokat Sebagai Pemohon IV, Edy berasal dari Sidoarjo dan memiliki latar belakang hukum yang kuat. Ia dikenal aktif dalam advokasi hukum dan turut memperkuat argumen konstitusional dalam permohonan ini.
  5. Yosephine Chrisan Ecclesia Tamba, S.H. – Karyawan BUMN dan Advokat Pemohon V berasal dari Sekadau, Kalimantan Barat. Dengan pengalaman di sektor BUMN dan profesi advokat, Yosephine menyoroti beban fiskal negara akibat pensiun DPR yang dinilai tidak proporsional.
  6. Meilani Mindasari, S.H. – Advokat Pemohon VI berdomisili di Jakarta Timur. Sebagai praktisi hukum, Meilani turut memperkuat gugatan dengan pendekatan yuridis terhadap ketentuan yang dinilai diskriminatif terhadap profesi lain yang tidak mendapat pensiun seumur hidup.
  7. Ida Haerani, S.H., M.H. – Dosen dan Advokat Pemohon VII berasal dari Bekasi. Sebagai akademisi dan praktisi hukum, Ida membawa perspektif pendidikan hukum dan keadilan sosial dalam gugatan ini. Ia menekankan pentingnya reformasi kebijakan keuangan negara yang lebih adil.
  8. H. Evaningsih, S.H. – Advokat Pemohon VIII berdomisili di Tambun Selatan. Ia menyoroti aspek keadilan sosial dan keberpihakan negara terhadap rakyat kecil dalam sistem pensiun pejabat negara.
  9. Andrean Winoto Wijaya, S.H., M.H. – Advokat Pemohon IX berasal dari Pontianak. Andrean aktif dalam isu-isu hukum tata negara dan menilai bahwa pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR bertentangan dengan prinsip keadilan dan efisiensi anggaran negara.

MK kembali mengadakan persidangan untuk menguji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 mengenai Hak Keuangan/Administratif bagi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Mantan Pimpinan dan Mantan Anggota Lembaga Tinggi Negara (UU 12/1980) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). 

Sidang ini membahas perbaikan permohonan yang diajukan oleh Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin sebagai Pemohon dalam Perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025., merupakan lanjutan dari sidang sidang pendahuluan pada Jumat (10/10/2025).

Persidangan yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (23/10/2025) dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Dalam kasus ini, para Pemohon—Lita yang bekerja sebagai psikolog serta Syamsul yang merupakan mahasiswa dan juga advokat—mengajukan uji terhadap Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980.

Menurut mereka, ketentuan-ketentuan itu dianggap melanggar prinsip keadilan dan kesamaan di depan hukum seperti yang dijamin oleh UUD NRI 1945.

Saat menyampaikan perbaikan permohonan, Syamsul Jahidin menjelaskan bahwa jumlah Pemohon dalam perkara ini meningkat dari awalnya dua orang menjadi sembilan orang.

“Selain itu, di halaman 6 poin 4 kami menegaskan bahwa perkara ini bukan nebis in idem, karena sebelumnya ada pengujian undang-undang serupa dengan Nomor Perkara 41/PUU-XI/2013,” kata Syamsul di depan Majelis Hakim, dikutip dari laman MK.

Syamsul juga menerangkan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya berpotensi terganggu oleh penerapan norma-norma dalam pasal-pasal yang diuji.

“Hak-hak kami berpotensi dilanggar oleh keberadaan penerapan norma-norma itu,” ungkapnya.

Di samping itu, para Pemohon juga menyajikan perbandingan dengan kebijakan pensiun di berbagai negara, serta melampirkan petisi yang didukung oleh 88.834 tanda tangan dari masyarakat Indonesia sebagai wujud aspirasi publik yang mendukung penghapusan tunjangan pensiun bagi Anggota DPR RI.

Dalil Permohonan

Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diadakan pada Jumat (10/10/2025), para Pemohon mengemukakan bahwa frasa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 1 huruf a UU 12/1980 menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan hukum.

Menurut mereka, ketentuan itu memungkinkan Anggota DPR RI yang hanya bertugas selama satu periode (lima tahun) untuk mendapatkan pensiun seumur hidup yang bahkan bisa diwariskan.

“Ini bertentangan dengan prinsip keadilan serta asas negara hukum yang berfokus pada kesejahteraan rakyat,” kata Syamsul tanpa pendampingan kuasa hukum.

Para Pemohon menilai bahwa pemberian pensiun seumur hidup untuk anggota DPR menciptakan beban keuangan negara yang tidak seimbang. Berdasarkan data yang dikemukakan, total biaya pensiun anggota DPR RI mencapai Rp226,015 miliar, yang seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kerugian yang kami rasakan bersifat konkret dan potensial. Sebagai pembayar pajak, kami merasa bahwa penggunaan dana pajak untuk pensiun DPR yang hanya menjabat lima tahun merupakan bentuk ketidakadilan fiskal,” tambah Syamsul.

Perbandingan dan Pertimbangan

Dalam permohonannya, para Pemohon juga membahas perbandingan dengan sistem pensiun di lembaga negara lainnya. Untuk Hakim Agung, Anggota BPK, ASN, TNI, dan Polri, masa kerja yang menjadi dasar pensiun biasanya antara 10 hingga 35 tahun.

Sementara itu, bagi anggota DPR, masa jabatan hanya satu hingga lima tahun, tetapi mereka tetap berhak atas pensiun seumur hidup.

Para Pemohon juga menyebutkan praktik di beberapa negara lain.

Di Amerika Serikat dan Inggris, hak pensiun anggota parlemen didasarkan pada masa jabatan, usia, dan kontribusi.

Di Australia, sistem pensiun berbasis kontribusi telah diterapkan sejak 2004, sementara di India, pensiun seumur hidup bagi anggota parlemen masih berlaku tetapi sering dikritik oleh publik karena dianggap membebani anggaran negara, kondisi yang menurut Pemohon mirip dengan di Indonesia.

Selain isu hukum dan keuangan, para Pemohon juga menyoroti aspek moral dan kinerja DPR yang dianggap belum sebanding dengan fasilitas serta tunjangan yang diterima.

Mereka mengutip opini publik tentang rendahnya tingkat kehadiran dalam sidang paripurna serta perilaku anggota DPR yang dinilai tidak mencerminkan tanggung jawab sebagai perwakilan rakyat.

Berdasarkan aturan saat ini, anggota DPR RI menerima pensiun antara Rp401.894 hingga Rp3.639.540, tergantung pada masa jabatan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.

Namun, para Pemohon berargumen bahwa ketentuan itu tetap tidak adil karena memberikan pensiun seumur hidup untuk jabatan politik yang bersifat sementara.

Melalui permohonan ini, para Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan dalam UU 12/1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

(Tribunnews.com/ Chrysnha, Mario Christian)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved