Minggu, 9 November 2025

Arah Hubungan Sipil-Militer Dipertanyakan, Pengamat dan Akademisi Soroti Tantangan Demokrasi

Aktivis sipil menyoroti dinamika hubungan sipil-militer yang dinilai mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. 

HO/Ist
KECEMASAN KELOMPOK SIPIL - Sejumlah akademisi dan aktivis sipil menyoroti dinamika hubungan sipil-militer yang dinilai mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dikatakan dalam diskusi publik bertajuk “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi: Arus Balik Reformasi TNI”, yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil, Jurnal Prisma, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan pada Selasa, 4 November 2025, di kampus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. (HO - Istimewa). 

Ringkasan Berita:
  • Kelompok sipil menyoroti dinamika hubungan sipil-militer yang dinilai mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. 
  • Fenomena ini dikhawatirkan berpotensi mengganggu konsolidasi demokrasi dan memperlemah kontrol sipil terhadap institusi pertahanan.
  • Tren politisasi terhadap militer dan perluasan peran non-tempur dikhawatirkan berpotensi mengaburkan fungsi utama TNI.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah akademisi dan aktivis sipil menyoroti dinamika hubungan sipil-militer yang dinilai mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. 

Fenomena ini disebut berpotensi mengganggu konsolidasi demokrasi dan memperlemah kontrol sipil terhadap institusi pertahanan.

Hal itu diungkapkan Wakil Direktur CENTRA Initiative, Al Araf dalam diskusi publik bertajuk “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi: Arus Balik Reformasi TNI”, yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil, Jurnal Prisma, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan pada Selasa, 4 November 2025, di kampus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Al Araf mengatakan peran dan fungsi militer yang saat ini sudah mulai bergeser yang sejatinya merupakan alat pertahanan negara yang profesional dan tunduk pada hukum. 

Namun, tren politisasi terhadap militer dan perluasan peran non-tempur berpotensi mengaburkan fungsi utama TNI.

“Ketika tentara dilibatkan dalam urusan sipil seperti cetak sawah atau program makan gratis, kapasitas tempur yang seharusnya menjadi fokus bisa terabaikan,” ujar Al Araf.

Menurutnya, masyarakat telah sepakat mengalokasikan anggaran besar, termasuk untuk alutsista modern, dengan harapan TNI menjadi profesional, tidak berbisnis, tidak berpolitik, dan tunduk pada hukum.

Al Araf juga menyoroti kasus di peradilan militer yang dinilai tidak akuntabel, seperti kasus Prada Lucky dan vonis ringan terhadap pelaku TNI dalam kasus kematian anak di Medan.

Lebih lanjut, Al Araf menyebut adanya lima aspek yang menunjukkan rekonsolidasi militer di ruang politik, yakni:

  • Regulasi dan kebijakan (revisi UU TNI dan perluasan kewenangan)
  • Politik (pengisian jabatan sipil oleh personel militer)
  • Peran (operasi selain perang yang meluas)
  • Ekonomi (dugaan keterlibatan dalam bisnis)
  • Publik (penguatan dukungan terhadap militer)

BRIN: Reformasi Keamanan Belum Tuntas

Sementara itu, Peneliti senior BRIN, Prof. Poltak Partogi, menilai bahwa reformasi sektor keamanan Pasca-1998 belum sepenuhnya tuntas. 

Ia menyoroti lemahnya kontrol demokrasi terhadap militer, termasuk absennya pengawasan parlemen yang efektif.

“Hubungan sipil-militer yang tidak tertata baik dapat membuka ruang bagi otoritarianisme,” kata Poltak. 

Poltak juga mengingatkan bahwa fenomena autocratic legalism dan post-truth dapat memperkuat sistem politik yang tidak demokratis.

Sebagai pembanding, Poltak mengutip dinamika di Mesir dan Thailand, di mana ketidakstabilan rezim sipil kerap berujung pada kudeta militer. 

Di Indonesia, menurutnya, ekspansi militer ke ranah sipil terjadi secara bertahap, bukan melalui kudeta langsung.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved