Kamis, 6 November 2025

OTT KPK di Riau

Setor Jatah Preman untuk Abdul Wahid, Anak Buah Gubernur Riau Pinjam ke Bank dan Gadai Sertifikat

KPK mengungkapkan, uang jatah preman (japrem) yang diberikan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid berasal dari berbagai sumber.

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
OTT KPK RIAU - Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, bersama Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu serta Jubir KPK Budi Prasetyo, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Asep mengatakan, Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan untuk keperluan ke luar negeri. 

Ringkasan Berita:
  • KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap para pejabat UPT di Dinas PUPR PKPP Riau.
  • Permintaan setoran dari Abdul Wahid terjadi di tengah kondisi keuangan daerah yang defisit hingga Rp3,5 triliun.
  • Uang hasil pemerasan diduga digunakan untuk membiayai lawatan ke luar negeri ke Inggris, Brasil, dan Malaysia.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, uang jatah preman (japrem) yang diberikan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid berasal dari berbagai sumber.

KPK telah menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap para bawahannya di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau. 

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, uang-uang itu berasal dari dana pribadi para pejabat Unit Pelaksana Teknis (UPT).

Bahkan, ia menjelaskan, untuk memenuhi permintaan japrem Gubernur Riau, para pejabat UPT juga melakukan pinjaman bank hingga hasil gadai sertifikat.

“Informasi yang kami terima dari kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank dan lain-lain,” kata Asep, di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).

Asep menyampaikan, adanya permintaan setoran dari Gubernur Riau memperberat beban yang ditanggung para pejabat UPT.

Ia menilai, praktik tersebut sangat memprihatinkan, terlebih terjadi di saat kondisi keuangan daerah yang sedang defisit.

“Setelah saya telusuri, ada pernyataan dari pihak Gubernur pada Maret 2025 bahwa APBD Riau defisit. Defisit Rp1,3 triliun, kemudian ada penundaan bayar sekitar Rp2,2 triliun. Jadi total defisitnya mencapai 3,5 triliun,” ungkap Asep.

Alih-alih membicarkan nominal setoran itu, menurut Asep, seharusnya tidak ada alasan bagi kepala daerah untuk meminta setoran tambahan dari pejabat bawahannya.

“Bayangkan, artinya APBD-nya defisit, terkait dengan belanjanya. Ini kan anggaran pendapatan dan belanja daerah ada tiga komponen: belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Artinya, ketiganya berpotensi terganggu karena uangnya memang tidak ada,” kata Asep.

Ia menilai tindakan Abdul Wahid yang tetap meminta setoran di tengah krisis anggaran daerah merupakan sebuah ironi.

“Seharusnya dengan tidak adanya uang, jangan dong minta. Jangan membebani pegawainya, jangan membebani bawahannya. Tapi ini ironis, di saat defisit anggaran malah meminta sejumlah uang,” tegas Asep.

Asep menambahkan, keterangan para kepala UPT memperlihatkan bahwa sebagian besar dari mereka terpaksa mencari dana untuk memenuhi permintaan tersebut.

“Itu keterangan dari kepala UPT, ada yang pinjam, ada yang gadaikan sertifikat, dan ada juga yang ambil pinjaman ke bank,” pungkasnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved