Minggu, 9 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

AJI Bongkar Deretan Pembungkaman Pers Era Soeharto, Tolak Gelar Pahlawan

Dari Tempo hingga Udin, sejarah kelam pers Orde Baru kembali diungkap AJI dan Gemas

Tribunnews.com/Bian Harnansa
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden ke-2 RI Soeharto tersenyum dan melambaikan tangan dalam sebuah acara publik. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkit bagaimana negara secara sistematis melakukan pembungkaman terhadap pers di era Orde Baru atau masa pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto dan mereka menolak pemberian gelar pahlawan 
Ringkasan Berita:
  • AJI Indonesia mengungkap sejarah pembungkaman pers di era Orde Baru, termasuk pencabutan izin media dan penangkapan jurnalis. 
  • Bersama ELSAM dan SAFEnet, mereka menolak pengusulan gelar pahlawan untuk Soeharto, mendesak negara berpihak pada reformasi dan HAM.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkit bagaimana negara secara sistematis melakukan pembungkaman terhadap pers di era Orde Baru atau masa pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto.

"Pada masa Orde Baru, zaman Soeharto, membikin media itu harus ada izin. Ada surat izin namanya SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers),” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bayu Wardhana dalam jumpa pers di Kopi Kina, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025).

"Kalau dia melawan pemerintah, maka akan dicabut SIUP-nya dan tidak bisa terbit," sambung Bayu.

Sensor tidak hanya terjadi melalui redaksi pemerintah, tetapi juga lewat ketakutan internal di ruang redaksi.

Baca juga: DPR Mengkhianati Sejarah Indonesia Jika Setuju Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto

Wartawan dipaksa berpraktik swasensor agar tidak berhadapan dengan ancaman pembredelan atau penjara.

Berikut daftar media yang dibungkam pada era Soeharto:

1973: Pencabutan Surat Izin Cetak Sinar Harapan berkaitan dengan pemberitaan RAPBN dengan judul "Anggaran '73-74 Rp. 826 milyard". Izin diberikan lagi dengan syarat Aristides Katopo tidak menjadi pemimpin redaksi lagi. 

1973: Jurnalis sekaligus pemimpin redaksi koran Sinar Harapan, Aristides Katopo, dilarang menjadi pemimpin redaksi sebagai syarat Sinar Harapan bisa terbit lagi.

1974: Pembredelan Harian KAMI, Abadi, Nusantara, Mingguan Senang, The Jakarta Times, Pemuda Indonesia, Pedoman, Majalah Berita Mingguan Ekspres, Seluruh Berita (Surabaya), Indonesia Pos (Ujung Pandang), dan Mahasiswa Indonesia. Dua belas media ini dicabut surat izin terbit dan surat izin cetaknya oleh pemerintah setelah peristiwa Malari.

1975: Penangkapan Mocharubs, jurnalis Harian Indonesia Raya.

1978: Larangan penerbitan sementara terhadap tujuh media, yakni Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi. Larangan dilakukan oleh pemerintah karena pemberitaan tujuh media ini dianggap menghasut.

1986: Harian Sinar Harapan dilarang terbit hingga tahun 1999.

1990: Pencabutan izin penerbitan Tabloid Monitor. Pemimpin redaksi Tabloid Monitor, Arswendo dipenjara setelah menerbitkan survei kontroversial.

1994: Menteri Penerangan Harmoko mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tiga media besar: Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Editor dengan alasan mengganggu stabilitas nasional.

1994–1996: Perampasan terbitan pers kampus: Balairung (UGM), Arena (IKIP Bandung), Genta (UKDW), dan Ujung Pandang Ekspres (UNHAS).

Baca juga: Istana Respons Polemik Gelar Pahlawan Untuk Soeharto: Mari Lihat Jasa Para Pendahulu

1995–1997: Jurnalis Tempo, Bambang Harymurti dan Satrio Arismunandar, dilarang bekerja di media massa karena tuduhan subversif.

1995: Ahmad Taufik, Eko Maryadi, dan Danang Kukuh Wardoyo — jurnalis dan aktivis AJI — dipenjara karena tuduhan membuat organisasi ilegal.

1996: Jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), dibunuh setelah memberitakan kasus dugaan korupsi di Yogyakarta.

Adapun jumpa pers ini diinisiasi oleh AJI Indonesia,  Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lembaga Bantuan Hukum Pers, dan Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang juga merupakan dari bagian Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas).

Mereka menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.

Mereka juga mendesak Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan untuk menolak dan menghentikan proses pengusulan nama soeharto kepada Presiden Prabowo Subianto dengan mempertimbangkan rekam jejak buruknya terhadap kebebasan berekspresi.

Selain itu juga mendesak Prabowo untuk menolak dan menghentikan proses pengusulan gelar pahlawan bagi Soeharto.

"Serta memastikan negara berpihak pada nilai reformasi dan supremasi hukum, bukan pada pelaku pelanggaran HAM," pungkas Bayu.

 

 

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved