Minggu, 9 November 2025

Ledakan di Jakarta Utara

Pelajaran dari Ledakan di SMAN 72 Jakarta: Keluarga dan Sekolah Harus Lebih Peka

Ledakan di SMAN 72 dengan demikian bisa dipahami sebagai buah dari luka sosial yang membusuk tanpa penanganan. Ada juga yang mengaitkan dengan radikal

Editor: willy Widianto
Tribunnews.com/Fahdi Fahlevi
LEDAKAN SMAN 72 – Wakil Ketua LPSK, Mahyudin, dan jajaran mendatangi lokasi ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Sabtu sore (8/11/2025). Kedatangannya untuk menelusuri kebutuhan perlindungan korban ledakan. 

Ringkasan Berita:
  • Keberhasilan Indonesia dalam menekan radikalisasi konvensional adalah prestasi nyata.
  • Guru, konselor, dan teman sebaya perlu peka terhadap perubahan perilaku siswa.
  • Namun ketahanan sejati juga tergantung pada keluarga, sekolah, dan komunitas yang mampu mendeteksi tanda-tanda luka sosial.

 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warga Jakarta dikejutkan adanya ledakan di masjid SMAN 72 Jakarta. Sebanyak 55 orang mengalami luka-luka terkait kejadian tersebut.

Baca juga: Kondisi Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta Sudah Sadar Pascaoperasi

Belakangan diketahui pelaku adalah siswa kelas XII di sekolah tersebut yang menjadi korban bullying atau perundungan.

Eks Deputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme {BNPT), Hamidin menyebut kejadian di SMAN 72 Jakarta itu sebagai bukti bahwa betapa pentingnya empati, ruang aman dan solidaritas dalam kehidupan sehari-hari untuk anak-anak yang terluka di hatinya.

"Ledakan di SMAN 72 adalah cermin bagi bangsa betapa pentingnya empati, ruang aman, dan solidaritas dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia telah menyiapkan sistem keamanan dan program deradikalisasi yang diakui dunia. Namun mencegah tragedi berikutnya membutuhkan kesadaran kolekti bahwa anak-anak yang terluka di hati bisa menjadi bom waktu jika tidak ada yang mendengar dan menuntun mereka ke jalan yang benar," kata Hamidin dalam pernyataannya, Sabtu(8/11/2025).

Kasus tersebut lanjut Hamidin juga menekankan bahwa senjata terkuat melawan kekerasan bukan hanya aparat atau undang-undang, tetapi perhatian, kasih, dan kemampuan mendengar. 

"Luka yang dibiarkan diam bisa meledak dengan cara paling tragis. Anak-anak perlu merasa aman tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial," kata Hamidin.

Lebih jauh Hamidin mengatakan ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta pada Jumat siang, 7 November 2025, bukan sekadar dentuman fisik yang mengguncang sekolah. Ia adalah ledakan simbolik dari luka sosial yang selama ini terpendam, melukai puluhan siswa dan guru, meninggalkan trauma, dan memunculkan pertanyaan besar: apa yang mendorong seorang anak sekolah menyalurkan amarahnya dengan cara paling tragis.

Baca juga: KPAI Dilibatkan di Kasus Ledakan SMAN 72 Jakarta, Status Terduga Pelaku Anak Berhadapan dengan Hukum

Dari keterangan awal aparat diketahui, pelaku kemungkinan adalah siswa sendiri, berusia sekitar 17 tahun, yang dikenal pendiam dan tertutup. Polisi tidak menutup kemungkinan bahwa ia menjadi korban bullying atau tekanan sosial di lingkungan sekolah. Bila dugaan itu benar, ledakan ini lebih dari insiden kriminal; ia adalah tindakan regresif-balasan, manifestasi luka psikologis yang lama terpendam dan akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan fisik.

"Bullying, meski kerap diremehkan, memiliki efek psikologis serius. Korban bisa kehilangan harga diri, merasa terasing, hingga menumpuk kemarahan yang tak tersalurkan. Dalam banyak kasus, tekanan yang dibiarkan menumpuk ini dapat memuncak dalam tindakan ekstrem," ujar Hamidin.

Ledakan di SMAN 72, dengan demikian bisa dipahami sebagai buah dari luka sosial yang membusuk tanpa penanganan. Di sisi lain, muncul dugaan bahwa tindakan ini mungkin terkait dengan ideologi ekstrem atau lone wolf terrorism aksi kekerasan tunggal yang dilakukan tanpa komando organisasi, tetapi terinspirasi narasi ekstrem yang beredar di dunia maya. 

Era digital memang memungkinkan radikalisasi terjadi tanpa kontak langsung. Propaganda yang memadukan pesan heroik dan penderitaan global bisa menjadi bahan bakar emosional bagi remaja yang sedang mencari identitas.

Namun, dalam konteks Indonesia, kemungkinan proses radikalisasi konvensional melalui guru radikal (warship), pembelajaran tertutup (discipleship), atau jaringan pertemanan ideologis (friendship)—terlihat sangat kecil. Hal ini berkat keberhasilan program kontra-radikalisasi dan deradikalisasi yang dijalankan Densus 88 dan BNPT. 

"Program rehabilitasi narapidana terorisme, pemberdayaan mantan pelaku, serta pendekatan sosial-ekonomi telah menjadikan Indonesia salah satu negara dengan strategi penanganan ekstremisme paling komprehensif di dunia," ujar Hamidin.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved