Senin, 10 November 2025

Ledakan di Jakarta Utara

Pelajaran dari Ledakan di SMAN 72 Jakarta: Keluarga dan Sekolah Harus Lebih Peka

Ledakan di SMAN 72 dengan demikian bisa dipahami sebagai buah dari luka sosial yang membusuk tanpa penanganan. Ada juga yang mengaitkan dengan radikal

Editor: willy Widianto
Tribunnews.com/Fahdi Fahlevi
LEDAKAN SMAN 72 – Wakil Ketua LPSK, Mahyudin, dan jajaran mendatangi lokasi ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Sabtu sore (8/11/2025). Kedatangannya untuk menelusuri kebutuhan perlindungan korban ledakan. 

Keunggulan model Indonesia menurut eks Deputi Kerjasama Internasional BNPT erletak pada kombinasi penegakan hukum dan pendekatan kemanusiaan. Aparat tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga menyembuhkan luka ideologis melalui edukasi, pembinaan sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Karena itu, kemungkinan adanya proses indoktrinasi klasik dari guru radikal atau jaringan rahasia tampak sangat kecil.

"Yang tetap harus diwaspadai hanyalah kemungkinan ekstrem sel tidur (hybernated cell), jaringan yang selama ini dorman, namun dapat bangkit bila ada pemicu signifikan misalnya kemunculan tokoh simbolik seperti Hambali atau seruan global dari pimpinan terorisme. Meski demikian, hingga saat ini aparat menegaskan tidak ada bukti keterkaitan pelaku dengan jaringan teror aktif, domestik maupun internasional," katanya.

Baca juga: Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kita Lagi-Lagi Terlambat Tangani Bullying

Dalam perspektif ini, tragedi SMAN 72 lebih masuk akal dibaca sebagai letupan sosial yang dibungkus simbol kekerasan, bukan serangan ideologis yang terstruktur. Pelaku tampaknya bukan radikal, melainkan remaja yang kehilangan ruang aman, yang mencoba menyalurkan amarahnya melalui cara paling tragis.

Namun konteks global tetap relevan. Konflik di Timur Tengah, krisis Gaza, hingga tensi politik di negara lain menciptakan gelombang narasi emosional yang tersebar luas di media sosial. Gambar penderitaan, seruan heroik, dan propaganda bisa menembus batas logika, terutama bagi remaja yang sedang mencari identitas. Emosi yang tersulut oleh isu global dapat menjadi pemicu tambahan, meski tidak ada hubungan langsung dengan jaringan teror aktif.

"Tragedi ini mengingatkan kita bahwa keamanan bukan hanya soal menghadang bom atau menangkap pelaku, tetapi juga soal membangun ketahanan sosial sejak dini. Dunia pendidikan harus menjadi ruang aman, bukan sekadar tempat belajar. Guru, konselor, dan teman sebaya perlu peka terhadap perubahan perilaku siswa. Program anti-bullying tidak cukup menjadi slogan ia harus menjadi budaya yang menumbuhkan empati dan solidaritas," ujar Hamidin.

Baca juga: Ratusan Siswa Datangi SMAN 72 Ambil Tas yang Tertinggal, Dilarang Dokumentasikan Gambar

Keberhasilan Indonesia dalam menekan radikalisasi konvensional adalah prestasi nyata. Namun ketahanan sejati juga tergantung pada keluarga, sekolah, dan komunitas yang mampu mendeteksi tanda-tanda luka sosial sebelum berubah menjadi aksi destruktif. Ledakan di SMA 72 bukan sekadar persoalan hukum atau keamanan, tetapi juga peringatan moral: ekstremisme dapat tumbuh dari kesepian, kekecewaan, dan rasa terasing.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved