Senin, 10 November 2025

Ledakan di Jakarta Utara

Ledakan di SMAN 72 Jakarta Tindakan Ekstremisme Kekerasan, Tak Ada Toleransi terhadap Perundungan

Peristiwa di SMAN 72 Jakarta merupakan alarm peringatan bahwa kesiapsiagaan dan langkah prevensi mesti selalu dilakukan.

Editor: Dewi Agustina
Fahdi Fahlevi
LEDAKAN SMAN 72 - Ratusan siswa mendatangi SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Sabtu (8/11/2025) sore. Setara Institute menilai peristiwa ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) merupakan tindakan ekstremisme kekerasan.  
Ringkasan Berita:
  • Setara Institute menilai peristiwa ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta merupakan tindakan ekstremisme kekerasan
  • Peristiwa itu merupakan alarm peringatan bahwa kesiapsiagaan dan langkah prevensi harus selalu dilakukan
  • Permasalahan ekstremisme berbasis kekerasan di usia dini masih lah besar dalam tata kebinekaan Indonesia 


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setara Institute menilai peristiwa ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) merupakan tindakan ekstremisme kekerasan. 

SETARA Institute adalah lembaga riset dan advokasi independen di Indonesia yang berfokus pada hak asasi manusia (HAM), demokrasi, dan pluralisme--terutama dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), toleransi sosial, serta kesetaraan warga negara di depan hukum.

Insiden ledakan terjadi di lingkungan sekolah SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025) sekitar pukul 12.05 WIB.

Baca juga: Pelajaran dari Ledakan di SMAN 72 Jakarta: Keluarga dan Sekolah Harus Lebih Peka

Diduga ledakan tersebut dipicu bahan peledak yang dibawa seorang siswa di sekolah tersebut.

Menurut Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, sebelum tragedi tersebut, dalam tiga tahun terakhir, tidak terjadi satu pun serangan teroris di Indonesia (zero terrorist attack). 

Namun, peristiwa di SMAN 72 Jakarta merupakan alarm peringatan bahwa kesiapsiagaan dan langkah prevensi mesti selalu dilakukan guna menghindari terjadinya keberulangan dan mencegah ekstremisme berbasis kekerasan. 

 

 

Terkait kejadian ini SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan:

1. Tragedi di SMA 72 Jakarta ini mesti dicatat sebagai peringatan bahwa permasalahan ekstremisme berbasis kekerasan di usia dini masih lah besar dalam tata kebinekaan Indonesia. 

Nama-nama teroris dunia yaitu “Brenton Tarrant” pelaku teror di Selandia Baru dan “Alexandre Bissonnette” pelaku teror di Kanada, serta narasi “Welcome to Hell” di senapan mainan yang diduga milik terduga pelaku merupakan penegas bahwa tragedi tersebut bukanlah peristiwa kriminal biasa, namun patut diduga mengarah pada terorisme.

2.    Tragedi tersebut menegaskan bahwa seluruh pihak mesti bekerjasama dan terlibat dalam agenda mencegah dan menangani kompleksitas eksremisme kekerasan. 

Derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi melipatgandakan kompleksitas persoalan pencegahan dan penanganan keterpaparan, terutama di kalangan generasi muda. 

Upaya-upaya peningkatan literasi kebangsaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan harus dilakukan secara lebih massif untuk mencegah keterpaparan masyarakat dan generasi muda kita dengan ideologi dan narasi ekstremisme-kekerasan.

3.    Di antara sejumlah agenda mendesak untuk mencegah dan menangani keterpaparan anak-anak usia dini dari ideologi dan narasi ekstremisme--kekerasan adalah dengan menguatkan kemampuan berfikir kritis serta meningkatkan penerimaan (acceptance) atas keberagaman di sekitar mereka. 

Masyarakat dan generasi muda kita harus dibiasakan untuk menghaluskan (sublimate) ketidaksetujuan (disapproval) mereka terhadap yang lain atau yang berbeda (liyan/the others). 

Ketidaksetujuan terhadap keyakinan, pandangan, organisasi, simbol-simbol, atau bahkan ritual yang berbeda bukanlah alasan yang dibenarkan untuk merusak, menghancurkan, atau meniadakan (denial) yang tidak disetujuinya itu.
  
4.    Terpaparnya remaja dengan paham intoleransi hingga ekstremisme terlihat pada data riset SETARA Institute. 

Temuan dalam survei (2023) menunjukkan bahwa terdapat 24,2 persen remaja dalam kategori intoleran pasif, 5?ri mereka intoleran aktif dan 0,6% lainnya terpapar ideologi ekstremisme. 

Dalam survei tersebut, meskipun toleransi di kalangan remaja SMA tinggi yaitu 70,2%, tadi terjadi peningkatan cukup tajam pada kategori intoleran aktif dibandingkan survei serupa sebelumnya pada 2016, dari 2,4% menjadi 5,0%, dan pada kategori terpapar dari 0,3% menjadi 0,6%.

5. Dalam pandangan SETARA Institute, sejauh ini agenda dan program pencegahan yang dilakukan untuk mengatasi tantangan percepatan intoleran aktif dan remaja terpapar belum efektif dan cenderung melemah dalam pemerintahan Prabowo Subianto, yang barangkali dipengaruhi oleh fakta objektif ‘nol serangan teroris’ dan program efisiensi dalam tata kelola anggaran. 

Kejadian di SMA 72 Jakarta merupakan peringatan keras bahwa pencegahan ekstremisme kekerasan harus selalu ditempatkan sebagai program prioritas.

6.    Agenda pencegahan ekstremisme-kekerasan harus diperankan oleh seluruh pemangku kepentingan guna menghindari keberulangan. 

Rencana Aksi Nasional Pencegahan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) harus diaktivasi dan dioptimalisasi untuk mendorong kolaborasi lintas aktor dan lintas skor. 

Demikian pula Pemerintah Daerah dan aktor-aktor kunci di daerah harus terus didorong untuk mengoptimalisasi peran melalui Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAD-PE). 

Seluruh pihak terkait harus terus dorong untuk saling menguatkan wawasan kebinekaan dengan kolaborasi Tiga Pilar Kepemimpinan dalam ekosistem toleransi, yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan birokratik, dan kepemimpinan kemasyarakatan.

7.    Fakta spesifik bahwa terduga pelaku yang merupakan salah seorang siswa berusia 17 tahun sering menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah harus memantik perhatian para pemangku di lembaga pendidikan, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen). 

Kita semua seharusnya tidak memberikan toleransi sekecil apapun pada berbagai bentuk perundungan yang terjadi di sekolah. 

Perundungan terbukti tidak saja menyakiti para korban, bahkan menghilangkan nyawa korban, tetapi juga menjerumuskan korban pada berbagai anomali, hingga pada tingkatan yang ekstrem, dari balas dendam (resiprokalitas) hingga ekstremisme-kekerasan seperti yang terjadi di SMA 72 Jakarta.

Total 96 Korban

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkap korban akibat ledakan di SMAN 72 Jakarta sebanyak 96 orang.

29 korban masih dirawat di rumah sakit, sementara sisanya sudah dipulangkan dan menjalani rawat jalan.

Selain itu, ada 2 korban yang tengah menjalani perawatan intensif di ICU.

"Jadi alhamdulillah dari jumlah awal 96 (orang). Saat ini yang masih dirawat di Rumah Sakit Islam Cikini ada 14, kemudian di (RS) Yarsi 14, dan satu lagi di (RS) Pertamina, sehingga total yang masih dirawat kurang lebih 29 dari 96, sisanya kemarin sudah bisa pulang dan dilaksanakan rawat jalan," kata Listyo.

Di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, Listyo mengungkap 12 korban sudah berada di ruang perawatan.

Sementara 2 lainnya masih di ICU karena perlu penanganan khusus.

"Secara umum kondisi korban sudah 12 orang yang saat ini dirawat inap, sementara 2 masih dirawat di ICU karena perlu ada penanganan khusus," ujarnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved