Gelar Pahlawan Nasional
Tim Hukum Merah Putih Dukung Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Di tengah penolakan Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan, Tim Hukum Merah Putih mendukung dengan alasan jasa Presiden kedua RI
Ringkasan Berita:
- Dukungan untuk Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan muncul lagi dari Tim Hukum Merah Putih
- Menurut mereka, jasa Soeharto ditandai oleh berbagai capaian penting dalam pembangunan nasional
- Suhadi menganggap mereka yang menolak gelar pahlawan diberikan untuk Soeharto karena hanya melihat dari sisi gelapnya saja
TRIBUNNEWS.COM - Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn) H.M. Soeharto, kembali memunculkan perdebatan publik.
Meski dikenal luas sebagai Bapak Pembangunan, sebagian kalangan menilai rekam jejak Soeharto tidak sepenuhnya layak untuk dianugerahi gelar tersebut.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Tim Hukum Merah Putih, sebuah kelompok advokasi yang aktif membela kepentingan hukum dan reputasi tokoh-tokoh nasional yang mereka anggap berjasa. Termasuk Joko Widodo (Jokowi) hingga Prabowo Subianto.
Tim ini dipimpin oleh Advokat C. Suhadi, SH, MH, dan dikenal melalui keterlibatannya dalam berbagai isu hukum strategis, seperti pembelaan terhadap tuduhan ijazah palsu Jokowi dan gugatan terhadap pencalonan Prabowo-Gibran.
Dalam konteks ini, mereka menyatakan dukungan penuh terhadap pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Kalau ada yang menolak, mungkin mereka hanya melihat sisi gelap dari seorang pemimpin. Padahal, kita juga harus jujur melihat kontribusi positifnya,” ujar Suhadi dalam pernyataan, Minggu (8/11/2025)
Menurut Suhadi, masa kepemimpinan Soeharto ditandai oleh berbagai capaian penting dalam pembangunan nasional.
Salah satu yang paling dikenang adalah keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, yang kemudian mendapat pengakuan dari FAO (Organisasi Pangan Dunia).
Ia juga menyoroti keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) dengan slogan “Dua Anak Cukup” yang dinilai berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk.
Di bidang kesehatan, Soeharto disebut sebagai inisiator pendirian Puskesmas yang menjangkau masyarakat hingga pelosok desa.
Sementara dalam sektor pendidikan, program wajib belajar enam tahun dinilai berhasil mengurangi angka buta huruf secara signifikan.
Baca juga: Pro Kontra Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Pengamat Minta Sejarah Dibaca Utuh
Meski gaya kepemimpinannya kerap disebut otoriter, Suhadi menilai stabilitas sosial dan ketertiban saat itu justru menjadi fondasi penting bagi pembangunan.
“Masyarakat merasa lebih tenteram dan santun. Bahkan sampai sekarang, banyak rakyat kecil yang masih mengenang beliau dengan ungkapan ‘Enak zamanku tho’,” ujarnya.
Lebih lanjut, Suhadi menegaskan bahwa dalam konteks negara berkembang, pendekatan negara terhadap demokrasi harus disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan.
Ia menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Soeharto yang mencapai 7,5 persen sebagai bukti keberhasilan yang patut diapresiasi.
“Dengan segala kontribusinya terhadap bangsa dan negara, sudah sepatutnya pemerintah memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional kepada Pak Harto,” papar Suhadi.
Respons Istana
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menanggapi polemik rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Prasetyo mengatakan keputusan pemberian gelar pahlawan akan diumumkan pada Senin (10/11/2025) bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.
“Untuk gelar pahlawan rencana akan insyaAllah mungkin hari Senin. Nanti akan ada semacam keputusan pemberian gelar pahlawan nasional,” kata Prasetyo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/11/2025).
Ketika ditanya jumlah penerima gelar tahun ini, Prasetyo menyebut angka pastinya masih belum ditetapkan.
“Total belum tahu,” ujarnya.
Menanggapi penolakan dari kelompok masyarakat sipil terkait kemungkinan Soeharto masuk daftar penerima gelar pahlawan, Prasetyo mengatakan seluruh proses telah melalui mekanisme resmi sesuai ketentuan yang berlaku.
“Jadi begini, mengenai gelar pahlawan itu tentunya melalui semua prosedur,” katanya.
Ia menegaskan adanya pro dan kontra adalah hal wajar.
Baca juga: Wakil Ketua Umum Golkar Respons Pernyataan Ribka Tjiptaning Soal Usul Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Namun, ia mengajak masyarakat bersikap arif dalam melihat rekam jejak pemimpin bangsa.
“Bahwa ada pro kontra, bahwa ada yang mungkin setuju mungkin tidak itu bagian dari aspirasi. Tetapi marilah sekali lagi kita mengajak semuanya untuk melihat yang positif. Melihat yang baik,” jelasnya.
“Apalagi kalau bicaranya adalah itu pemimpin-pemimpin kita terdahulu. Marilah kita arif dan bijaksana belajar menjadi dewasa sebagai sebuah bangsa untuk kita menghormati dan menghargai jasa-jasa para pendahulu. Mari kita kurangi untuk selalu melihat kekurangan-kekurangan,” katanya.
Sejumlah Tokoh Menolak
Sebanyak 486 tokoh dari berbagai elemen dan latar belakang mulai dari aktivis, akademisi, pimpinan organisasi masyarakat hingga mantan Jaksa Agung masuk dalam daftar nama yang menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional oleh negara kepada mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto.
Mereka menolak pemberian gelar ini karena rekam jejak moral, historis, dan hukum sang 'The Smiling General' jauh dari cermin nilai luhur untuk disebut pahlawan nasional.
Para tokoh ini juga mengirimkan surat penolakan mereka ke Istana Negara dan ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), perwakilan para tokoh ini turut membacakan surat tersebut.
Mereka di antaranya Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, eks Ketua Komnas HAM dan Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman, Sejarawan Asvi Warman, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, penyintas tragedi 1965 Utati, Romo Franz Magnis Suseno, dan Anggota Dewan Pengurus Amnesty Internasional Indonesia Firda Amalia.
"Kami rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan latar belakang di Indonesia maupun di luar Indonesia, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, menyatakan penolakan kami terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto," kata Usman membacakan surat yang dibuat koalisi masyarakat sipil ini.
Ada empat poin alasan penolakan yang dicantumkan dalam surat tersebut.
Pertama, terjadi pelanggaran berat HAM yang masih belum terselesaikan.
Usman menuturkan di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto diwarnai sejumlah peristiwa kelam yang menimbulkan luka mendalam. Mulai dari peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Kedua, terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang sistematis.
Praktik KKN merajalela dan menjadi budaya selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto.
Kekayaan negara dikontrol segelintir orang dekat Soeharto (oligarki), monopoli bisnis keluarga di berbagai sektor dengan perlindungan dari negara.
Berbagai yayasan yang dikelola keluarga Cendana juga menjadi alat untuk mengumpulkan dana 'sumbangan' paksa dari pengusaha dan pegawai negeri.
TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, khususnya Pasal 4 menyebut nama Soeharto sebagai pihak yang menjadi sasaran pemberantasan KKN.
"Pasal ini tidak dapat dianggap selesai hanya karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Usman.
Ketiga, pemberangusan demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Rezim Soeharto dinilai menciptakan sistem politik yang otoriter dengan mengerdilkan dan memaksakan fusi partai politik menjadi hanya tiga partai, membatasi kebebasan pers dan kebebasan dunia akademik.
Soeharto juga dinilai melepas tanggung jawab atas rusaknya sistem dan pranata sosial politik.
Keempat, stabilitas ekonomi di masa pemerintahan Soeharto hanya muka depan belaka.
Sebab terjadi kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar di tengah masyarakat.
"Pembangunan terpusat di Jawa dan mengabaikan daerah lain. Program Transmigrasi menimbulkan konflik horizontal dengan penduduk setempat. Krisis Moneter 1998 menjadi bukti kerapuhan fondasi ekonomi yang dibangun di atas praktik KKN," ujarnya.
(Tribunnews.com/Chrysnha/Igman Ibrahim)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.