Sabtu, 8 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

AJI Bongkar Deretan Pembungkaman Pers Era Soeharto, Tolak Gelar Pahlawan

Dari Tempo hingga Udin, sejarah kelam pers Orde Baru kembali diungkap AJI dan Gemas

Tribunnews.com/Bian Harnansa
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden ke-2 RI Soeharto tersenyum dan melambaikan tangan dalam sebuah acara publik. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkit bagaimana negara secara sistematis melakukan pembungkaman terhadap pers di era Orde Baru atau masa pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto dan mereka menolak pemberian gelar pahlawan 

Ringkasan Berita:
  • AJI Indonesia mengungkap sejarah pembungkaman pers di era Orde Baru, termasuk pencabutan izin media dan penangkapan jurnalis. 
  • Bersama ELSAM dan SAFEnet, mereka menolak pengusulan gelar pahlawan untuk Soeharto, mendesak negara berpihak pada reformasi dan HAM.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkit bagaimana negara secara sistematis melakukan pembungkaman terhadap pers di era Orde Baru atau masa pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto.

"Pada masa Orde Baru, zaman Soeharto, membikin media itu harus ada izin. Ada surat izin namanya SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers),” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bayu Wardhana dalam jumpa pers di Kopi Kina, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025).

"Kalau dia melawan pemerintah, maka akan dicabut SIUP-nya dan tidak bisa terbit," sambung Bayu.

Sensor tidak hanya terjadi melalui redaksi pemerintah, tetapi juga lewat ketakutan internal di ruang redaksi.

Baca juga: DPR Mengkhianati Sejarah Indonesia Jika Setuju Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto

Wartawan dipaksa berpraktik swasensor agar tidak berhadapan dengan ancaman pembredelan atau penjara.

Berikut daftar media yang dibungkam pada era Soeharto:

1973: Pencabutan Surat Izin Cetak Sinar Harapan berkaitan dengan pemberitaan RAPBN dengan judul "Anggaran '73-74 Rp. 826 milyard". Izin diberikan lagi dengan syarat Aristides Katopo tidak menjadi pemimpin redaksi lagi. 

1973: Jurnalis sekaligus pemimpin redaksi koran Sinar Harapan, Aristides Katopo, dilarang menjadi pemimpin redaksi sebagai syarat Sinar Harapan bisa terbit lagi.

1974: Pembredelan Harian KAMI, Abadi, Nusantara, Mingguan Senang, The Jakarta Times, Pemuda Indonesia, Pedoman, Majalah Berita Mingguan Ekspres, Seluruh Berita (Surabaya), Indonesia Pos (Ujung Pandang), dan Mahasiswa Indonesia. Dua belas media ini dicabut surat izin terbit dan surat izin cetaknya oleh pemerintah setelah peristiwa Malari.

1975: Penangkapan Mocharubs, jurnalis Harian Indonesia Raya.

1978: Larangan penerbitan sementara terhadap tujuh media, yakni Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi. Larangan dilakukan oleh pemerintah karena pemberitaan tujuh media ini dianggap menghasut.

1986: Harian Sinar Harapan dilarang terbit hingga tahun 1999.

1990: Pencabutan izin penerbitan Tabloid Monitor. Pemimpin redaksi Tabloid Monitor, Arswendo dipenjara setelah menerbitkan survei kontroversial.

1994: Menteri Penerangan Harmoko mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tiga media besar: Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Editor dengan alasan mengganggu stabilitas nasional.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved