Selasa, 11 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Legislator PDIP Ungkap Pelanggaran HAM saat Orde Baru

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Fraksi PDIP Andreas Hugo Pareira kritik pemerintah yang menganugerahi gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. 

Penulis: Chaerul Umam
kebudayaan.kemdikbud.go.id
GELAR PAHLAWAN SOEHARTO - Potret Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Fraksi PDIP Andreas Hugo Pareira kritik pemerintah, yang menganugerahi gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto.  
Ringkasan Berita:
  • Andreas menyinggung soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa Soeharto, era Orde Baru. 
  • Andreas juga menyinggung sejumlah kasus pelanggaran HAM yang ditudingkan kepada Soeharto
  • Setidaknya ada 10 kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan Soeharto saat berkuasa menurut catatan Kontras. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Fraksi PDIP Andreas Hugo Pareira, mengkritik pemerintah, yang menganugerahi gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto

Andreas pun menyinggung soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa Soeharto, era Orde Baru. 

Andreas menegaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh-tokoh bangsa merupakan bagian penting dari upaya menjaga kesinambungan sejarah dan membangun kebanggaan nasional. 

“Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut figur publik dengan catatan sejarah pelanggaran HAM seperti Soeharto harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara demi menjaga harkat dan martabat pendidikan kebangsaan,” kata Andreas, kepada wartawan, Senin (10/11/2025).

Lantas, Andreas menyinggung tentang banyaknya tudingan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto, baik sebelum dan selama ia menjabat sebagai Presiden puluhan tahun lamanya.

Baca juga: Prabowo Resmi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto dan 9 Tokoh Lainnya

“Pahlawan Nasional bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi cermin nilai dan arah moral bangsa. Karena itu, setiap keputusan negara dalam memberikan penghargaan ini harus mempertimbangkan semangat persatuan, rekonsiliasi, dan pembelajaran bagi generasi muda,” ujarnya.

“Kita tidak boleh lupa bahwa Soeharto punya jejak sejarah kelam, yang sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya dalam hal pelanggaran HAM dan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) selama ia memimpin negeri ini,” imbuh Legislator dari Dapil NTT I itu.

Andreas menyinggung sejumlah kasus pelanggaran HAM yang ditudingkan kepada Soeharto

Hal ini berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang juga menyebut setelah Orde Baru berakhir pada 1998, tuntutan untuk mengungkap dugaan terjadinya pelanggaran berat HAM masa lalu banyak bermunculan.

Ia menyebut, setidaknya ada 10 kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan Soeharto saat berkuasa menurut catatan Kontras. 

GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2025 kepada 10 tokoh. Penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Keluarga almarhum Presiden ke-2 RI Soeharto menanggapi pro-kontra atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional yang diberikan Presiden Prabowo.
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2025 kepada 10 tokoh. Penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Keluarga almarhum Presiden ke-2 RI Soeharto menanggapi pro-kontra atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional yang diberikan Presiden Prabowo. (Tribunnews.com/Taufik Ismail/Tangkapan Layar di YouTube Sekretariat Presiden)

Pertama tindakan kejahatan kemanusiaan di Pulau Buru pada 1965-1966 saat Soeharto bertindak sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang disingkat Pangkoops Pemulihan Kamtib.

Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto diduga telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke Pulau Buru.

Kedua adalah dugaan kebijakan penembakan misterius sepanjang 1981-1985 sebagai bentuk ‘hukuman mati’ tanpa melewati proses pengadilan. Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung.

Ketiga, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru. 

Akibat dari kebijakan ini, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan buntut Peristiwa Tanjung Priok 1984.

Pelanggaran HAM berat Soeharto lainnya berdasarkan catatan Kontras adalah Kebijakan represif terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem dengan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987. 

Akibat kejadian ini, 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.

Kemudian pelanggaran HAM dalam pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998) dan DOM Papua (1963-2003) yang mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa.

Sejumlah insiden pada DOM Papua seperti Teminabun 1966-1967, peristiwa Kebar 1965, hingga Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 di mana terjadi pembantaian di 17 desa. Dua kebijakan DOM Soeharto menyebabkan banyak korban berjatuhan.

Baca juga: Korban Tragedi Tanjung Priok 1984: Pantaskah Soeharto Disebut Seorang Pahlawan?

Kontras pun turut mencatat kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang merupakan serangan oleh pasukan pemerintah Indonesia pada kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta. Dalam Peristiwa 27 Juli, Soeharto memandang Megawati Soekarnoputri sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru. 

Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan yang diduga berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati itu menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan.

Tiga kasus pelanggaran HAM Soeharto berdasarkan laporan Kontras adalah Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998 yang melibatkan Tim Mawar, Peristiwa Trisakti 1998 yang menyebakan 4 mahasiswa tewas tertembak peluru aparat keamanan, dan kerusuhan 13–15 Mei 1998 yang merupakan rangkaian dari kekerasan dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.

Dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu. Kejadian ini menjadi tonggak sejarah lahirnya reformasi dan jatuhnya kepemimpinan Soeharto.

Dengan berbagai rentetan kasus pelanggaran HAM itu, Andreas menilai Soeharto tidak sepatutnya mendapat gelar kehormatan Pahlawan Nasional.

“Ini baru sedikit laporan dari Kontras. Kita belum berbicara soal kasus-kasus hukum lainnya, termasuk mengguritanya praktik KKN di era Orde Baru,” ucap Andreas.

“Belum lagi kita bicara soal rezim diktator yang menumpas kebebasan berekspresi dan menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami penderitaan panjang,” sambungnya.

Andreas mengatakan, ia mendukung penghargaan bagi siapa pun yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. 

“Tapi penghormatan harus memperkuat keutuhan sejarah, bukan memunculkan luka lama,” tegas Andreas.

Lebih lanjut, Andreas mengatakan bahwa penghargaan tersebut seharusnya bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun kesadaran baru tentang nilai-nilai perjuangan yang relevan bagi masa depan Indonesia. 

“Pahlawan nasional bukan hanya soal masa perjuangan kemerdekaan, tapi juga simbol moral bangsa,” katanya.

“Lantas apakah Soeharto merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap tantangan-tantangan tersebut, atau justru sebaliknya?” pungkas Andreas.

Baca juga: Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Tutut Soeharto: Kami Tidak Dendam dengan yang Kontra

Sebelumnya Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2025 kepada 10 tokoh. Penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Penganugerahan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

"Marilah kita sejenak mengenang arwah dan jasa-jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan kedaulatan dan kehormatan bangsa Indonesia yang telah memberi segala-galanya agar kita bisa hidup merdeka dan kita bisa hidup dalam alam yang sejahtera," ujar Presiden saat mengheningkan cipta.

Kesepuluh tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional dalam rangka Hari Pahlawan Tahun 2025 tersebut adalah:

 1 Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Bidang Perjuangan Politik dan Pendidikan Islam)
2. Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto (Bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik)
3. Almarhumah Marsinah (Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan)
4. Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Bidang Perjuangan Hukum dan Politik)
5. Almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (Bidang Perjuangan Pendidikan Islam)
6. ⁠Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Bidang Perjuangan Bersenjata)
7. Almarhum Sultan Muhammad Salahuddin (Bidang Perjuangan Pendidikan dan Diplomasi)
8. Almarhum Syaikhona Muhammad Kholil (Bidang Perjuangan Pendidikan Islam)
9. Almarhum Tuan Rondahaim Saragih (Bidang Perjuangan Bersenjata)
10. Almarhum Zainal Abidin Syah (Bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi)

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved