Kamis, 13 November 2025

Gelar Pahlawan Soeharto

Gelar Pahlawan Nasional Disebut Pemutihan 'Dosa-dosa Besar' Soeharto

Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, menilai gelar Pahlawan Nasional menjadi pemutihan terhadap dosa besar Soeharto.

kebudayaan.kemdikbud.go.id
GELAR PAHLAWAN SOEHARTO - Potret Presiden ke-2 RI Soeharto. Soeharto memang disebut 'Bapak Pembangunan', tetapi gelar pahlawan nasional itu dinilai menjadi upaya untuk memutihkan sisi gelap otoritarianisme, KKN, dan pelanggaran HAM-nya. 
Ringkasan Berita:
  • Presiden RI ke-2 Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada Senin (10/11/2025).
  • Penganugerahan gelar pahlawan kepada nama Soeharto telah diselimuti pro-kontra, mengingat adanya sederet rekam jejak kelam di masa Orde Baru.
  • Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi pemutihan terhadap 'dosa-dosa besar' Presiden ke-2 RI Soeharto.

TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia (SDI), Arif Nurul Imam, menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi pemutihan terhadap 'dosa-dosa besar' Presiden ke-2 RI Soeharto.

Pemutihan sendiri berasal dari kata 'putih', dan secara harfiah, berarti proses membuat sesuatu menjadi putih.

Namun, secara kiasan, 'pemutihan' bisa dimaknai sebagai upaya penghapusan atau pengampunan terhadap pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan individu tertentu.

Diketahui, penganugerahan gelar pahlawan kepada nama Soeharto telah diselimuti pro-kontra sejak pertama kali diusulkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2010 lalu, di era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Lalu, ketika diusulkan kembali untuk menjadi pahlawan nasional pada 2015, saat pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi), usulan tersebut juga ditolak.

Di satu sisi, Soeharto dianggap berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Republik Indonesia (seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 serta swasembada pangan).

Di sisi lain, Soeharto disebut memiliki rekam jejak yang kelam selama Orde Baru (1966-1998) yang dipimpinnya.

Misalnya, dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat seperti pembantaian 1965-1966, penembakan misterius (Petrus), Tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, hingga penghilangan paksa aktivis 1997-1998, serta kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Sejumlah kritikus menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto melanggar semangat Reformasi 1998 dan bertentangan dengan dua ketetapan MPR RI, yakni:

  • Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang secara eksplisit menyebut mantan Presiden Soeharto. Meski akhirnya, nama Soeharto dicabut dari Tap MPR ini pada September 2024.
  • Tap MPR Nomor V/MPR/2000 yang mengidentifikasi penyebab krisis bangsa seperti ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan KKN.

Adapun pihak-pihak yang menyuarakan penolakan terhadap gelar pahlawan nasional untuk Soeharto meliputi sejumlah lembaga, tokoh publik, aktivis, maupun massa yang berdemonstrasi.

Baca juga: Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Pro dan Kontra Menggema di Dunia Maya

Di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Wakil Ketua DPR RI sekaligus kader PDIP Andreas Hugo Pareira, sejarawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam, jaringan GUSDURian, hingga Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis.

Gelar Pahlawan Upaya Pemutihan Politik untuk 'Dosa' Soeharto

Soeharto memang disebut 'Bapak Pembangunan', tetapi Arif Nurul Imam menilai, gelar pahlawan nasional itu menjadi upaya untuk memutihkan sisi gelap otoritarianisme, KKN, dan pelanggaran HAM-nya.

Hal ini disampaikan Arif saat menjadi narasumber dalam tayangan On Focus yang diunggah di kanal YouTube Tribunnews, Selasa (11/11/2025).

"Saya kira ini sebagai bentuk pemutihan politik dari kebijakan-kebijakan Pak Harto yang dianggap menjadi dosa-dosa ketika menjadi presiden," kata Arif Nurul Imam.

"Dengan demikian, dengan pemberian gelar tersebut maka dosa-dosa politik yang dilakukan Presiden Soeharto terhapus karena dianggap orang yang berjasa bagi republik ini."

Bahkan, menurut Arif, gelar pahlawan nasional Soeharto akan turut membersihkan noda yang ada pada rezim Orde Baru.

Arif melanjutkan, sayangnya, gelar pahlawan nasional Soeharto juga menghilangkan esensi reformasi yang notabene merupakan kritik terhadap rezim Orde Baru yang dipenuhi sederet kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.

"Pemberian gelar pada Soeharto tentu dalam tanda petik akan 'memutihkan' rezim Orde Baru yang ditumbangkan dan diganti reformasi," tutur Arif.

"Pemberian gelar ini tentu akan menghilangkan esensi reformasi mengingat reformasi merupakan kritik terhadap rezim Orde Baru yang dianggap memiliki banyak cacat dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat."

Membentuk Citra Prabowo

Arif lantas menilai, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan membentuk citra Presiden RI Prabowo Subianto yang akan terkesan semakin militeristik.

Sehingga, pihak-pihak yang menolak pemberian gelar tersebut juga akan resisten atau melawan terhadap pemerintahan Prabowo.

Selain itu, gelar tersebut menandakan bahwa Prabowo berpihak kepada keluarga Soeharto.

"Tentu citra Prabowo Subianto akan dilihat semakin militer dan kemudian orang-orang yang melakukan penolakan terhadap pemberian gelar pada Soeharto tentu akan makin resisten terhadap pemerintah Prabowo hari ini," ujar Arif.

"Kalau secara ideologi, tentu ini bisa dibaca juga sebagai keberpihakan politik Prabowo Subianto kepada keluarga Soeharto atau keluarga rezim Orde Baru."

Arif mengingatkan, publik harus melihat secara objektif, bahwa Soeharto memang berjasa besar terhadap pembangunan Indonesia.

Akan tetapi, bukan berarti rekam jejak kelamnya dikesampingkan.

Oleh karenanya, Arif menilai, seharusnya penganugerahan gelar pahlawan nasional diberikan dengan pertimbangan yang jauh lebih matang dan bijak.

"Saya kira kita harus objektif bahwa Pak Harto memiliki banyak prestasi dan kontribusi bagi bangsa ini," papar Arif.

"Tetapi di sisi lain Pak Harto juga melakukan kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan rakyat kecil, bahkan kerap disebut melakukan cara-cara militaristik sehingga ini bertentangan dengan demokrasi, HAM, dan sebagainya."

"Karena itu, saya kira pemberian gelar selanjutnya perlu lebih hati-hati dan mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak menimbulkan resistensi secara masif dan luas."

GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2025 kepada 10 tokoh. Penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). (Taufik Ismail).
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2025 kepada 10 tokoh. Penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). (Taufik Ismail). (Tribunnews.com/Taufik Ismail)

Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Nasional

Presiden RI ke-2 Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada Senin (10/11/2025).

Pemberian tanda kehormatan tersebut dilakukan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto kepada Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto) selaku ahli waris di Istana Negara, Jakarta.

Soeharto dikategorikan sebagai pahlawan bidang perjuangan. Ia diberikan gelar pahlawan nasional lantaran perjuangannya menonjol sejak masa kemerdekaan. 

"Jenderal Soeharto menonjol sejak masa kemerdekaan. Sebagai wakil komandan BKR Yogyakarta, ia memimpin pelucutan senjata Jepang, Kota Baru 1945," sebut narator saat Prabowo memberikan tanda gelar kepada ahli waris, Senin.

Penganugerahan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Keppres tersebut ditandatangani Prabowo pada 6 November 2025.

“Menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mereka yang namanya tersebut dalam lampiran keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi, atas jasa-jasanya yang luar biasa, untuk kepentingan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa," demikian bunyi kutipan Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025.

Berikut 10 tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional 2025:

  1. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – Jawa Timur
  2. Jenderal Besar TNI Soeharto – Jawa Tengah
  3. Marsinah – Jawa Timur
  4. Mochtar Kusumaatmadja – Jawa Barat
  5. Hajjah Rahma El Yunusiyyah – Sumatera Barat
  6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo – Jawa Tengah
  7. Sultan Muhammad Salahuddin – Nusa Tenggara Barat
  8. Syaikhona Muhammad Kholil – Jawa Timur
  9. Tuan Rondahaim Saragih – Sumatera Utara
  10. Zainal Abidin Syah – Maluku Utara

Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara RI (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan alasan Presiden RI Prabowo Subianto memberi gelar Pahlawan Nasional kepada setidaknya 10 orang, termasuk Presiden ke-2 RI Soeharto.

“Itu kan bagian dari bagaimana kita menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin kita, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” kata Prasetyo di Kertanegara, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025).

Adapun keluarga atau ahli waris dari seseorang yang dinyatakan pahlawan nasional akan mendapatkan sejumlah hak melekat.

Keluarga pahlawan nasional berhak menerima tunjangan senilai Rp50 juta per tahun sebagai bentuk penghargaan negara atas jasa dan pengorbanannya.

Tunjangan bagi keluarga atau ahli waris pahlawan nasional ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Serta Besaran Tunjangan Berkelanjutan bagi Pejuang, Perintis Kemerdekaan, dan Keluarga Pahlawan Nasional.

Selain tunjangan pahlawan nasional dalam bentuk uang tunai, ahli waris dari penerima gelar pahlawan juga akan mendapatkan tunjangan kesehatan yang dicover oleh BPJS Kesehatan.

Hak lainnya, seorang pahlawan nasional bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP).

Sementara bila makamnya berada di luar TMP, maka negara bisa melakukan pemugaran pada makam sang pahlawan.

(Tribunnews.com/Rizki A.)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved