Gelar Pahlawan Nasional
Gelar Pahlawan Soeharto, Akademisi Ingatkan Peristiwa Penting Republik dan Nilai Warisan
Menanggapi berbagai penolakan terhadap gelar Pahlawan Soeharto, Makroen Sanjaya mengingatkan kembali tentang peristiwa penting RI
Ringkasan Berita:
- Pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden kedua RI, Soeharto masih menyisakan pro dan kontra
- Akademisi Makroen Sanjaya justru mengingatkan lagi tentang peristiwa penting yang dialami Republik Indonesia
- Satu di antaranya adalah Serangan Umum 1 Maret 1949
TRIBUNNEWS.COM - Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal Besar H.M. Soeharto, pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, bukan sekadar seremoni kenegaraan di Istana Negara.
Pemberian gelar pahlawan nasional di Indonesia merupakan bentuk penghargaan tertinggi dari negara atas jasa-jasa luar biasa seorang warga negara atau seseorang yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa.
Proses dan kriteria pemberian gelar ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2010.
Keputusan yang ditetapkan lewat Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 itu memantik beragam tanggapan di ruang publik. dari dukungan atas rekognisi jasa sejarah, hingga perdebatan mengenai warisan masa pemerintahannya.
Presiden Prabowo Subianto, dalam upacara yang dihadiri para pejabat tinggi negara, menegaskan pentingnya menghormati setiap tokoh yang berkontribusi terhadap keutuhan bangsa.
Namun di luar istana, publik kembali dihadapkan pada pertanyaan lama bagaimana bangsa ini seharusnya memandang sejarah yang kompleks.
Dr. Makroen Sanjaya, dari PP Muhammadiyah, menilai langkah pemerintah sebagai bagian dari upaya menyatukan pandangan sejarah bangsa.
“Soeharto tidak bisa dilepaskan dari peristiwa-peristiwa penting Republik, mulai dari Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga pencapaian swasembada pangan. Apresiasi terhadap jasa tidak berarti meniadakan evaluasi terhadap masa lalu,” kata dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta itu, Kamis (13/11/2025).
Makroen menambahkan bangsa yang matang adalah bangsa yang mampu menimbang sejarahnya dengan kepala dingin.
“Pahlawan bukan hanya soal sosok, tetapi tentang nilai yang diwariskan, keberanian, pengabdian, dan kerja keras membangun negeri,” ujarnya.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut keputusan tersebut merupakan bentuk penghormatan konstitusional terhadap pengabdian Soeharto dalam menjaga kedaulatan dan membangun ekonomi nasional.
Baca juga: Tolak Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Jaringan Gusdurian: Penguasa Membuka Luka Lama
“Kita tidak boleh terpecah oleh perbedaan pandangan sejarah. Makna kepahlawanan seharusnya kita hidupkan dalam semangat persatuan dan gotong royong,” ujarnya belum lama ini.
Menurut Prasetyo, penghargaan terhadap jasa Soeharto tidak berarti menutup ruang kritik. “Pahlawan masa kini,” katanya, “adalah mereka yang memperkuat solidaritas dan menghargai perbedaan.”
Pernyataan itu muncul di tengah derasnya diskusi publik di media sosial, sebagian menilai langkah ini sebagai bentuk rekonsiliasi sejarah yang dibutuhkan, sementara sebagian lain memandangnya sebagai pengaburan memori kritis terhadap praktik kekuasaan masa lalu.
Dari sisi keamanan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa aparat siap menjaga situasi nasional tetap kondusif.
“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi. Damai dan stabilitas sosial bukan hanya tanggung jawab aparat, tapi juga seluruh warga negara,” papar Kapolri.
Bagi sebagian pengamat, penganugerahan gelar ini menjadi ujian bagi kedewasaan masyarakat Indonesia dalam memandang sejarah secara utuh menghargai jasa, tanpa menghapus ruang refleksi kritis.
Di tengah polarisasi dan maraknya disinformasi di dunia maya, pesan pemerintah untuk menjaga ketenangan menjadi semakin relevan.
Lebih dari sekadar penghargaan, keputusan ini mengajak bangsa melihat masa lalu bukan sebagai luka yang harus dihapus, melainkan sebagai pelajaran yang menguatkan langkah ke depan.
Sebab, menghormati keputusan negara juga berarti menjaga kebersamaan dalam bingkai yang lebih besar: Indonesia yang damai dan bersatu.
Momentum Refleksi
Ketua Umum DPP Pengajian Al-Hidayah Hetifah Sjaifudian menanggapi keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Pengajian Al-Hidayah adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang mewadahi wanita muslimah Indonesia, dengan tujuan membangun generasi beriman, bertakwa, dan cinta tanah air.
Pengajian Al-Hidayah Didirikan pada 5 Oktober 1979 oleh Wanita Keluarga Besar Golongan Karya yang beragama Islam.
Menurut Hetifah, keputusan tersebut merupakan bentuk penghormatan negara atas pengabdian panjang Presiden Soeharto.
“Keputusan ini merupakan bentuk penghormatan negara atas pengabdian panjang beliau dalam memajukan Indonesia, termasuk dalam memperluas akses pendidikan, memperkuat stabilitas nasional, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Hetifah dalam keterangan tertulis, Selasa (11/11/2025).
Sebagai organisasi perempuan yang lahir dan berkembang pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Hetifah menegaskan bahwa Pengajian Al-Hidayah merasakan langsung perhatian besar Soeharto terhadap pemberdayaan perempuan, pembinaan kerohanian, dan pembangunan keluarga sebagai fondasi utama bangsa.
“Banyak nilai keteladanan yang diwariskan: kerja keras, kedisiplinan, pengabdian, dan komitmen terhadap persatuan,” ucap Ketua Komisi X DPR RI itu.
Hetifah menilai, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar bentuk penghormatan historis, tetapi juga momentum refleksi perjalanan bangsa agar masyarakat dapat melihat sejarah secara lebih jernih dan bijaksana.
“Kami memandang penganugerahan ini bukan sekadar penghormatan historis, tetapi juga momentum untuk merefleksikan perjalanan bangsa secara jernih dan penuh kebijaksanaan. Semoga keputusan ini semakin menguatkan semangat persatuan, memperkokoh rasa syukur, dan mendorong kita semua untuk melanjutkan amal kebaikan bagi umat dan Indonesia,” ucap Hetifah.
Lebih lanjut, Hetifah menegaskan komitmen Pengajian Al-Hidayah untuk terus menjaga nilai-nilai keislaman, kemasyarakatan, dan pengabdian yang menjadi pijakan organisasi sejak awal berdiri.
“Pengajian Al-Hidayah berkomitmen menjaga nilai-nilai keislaman, kemasyarakatan, dan pengabdian yang selama ini menjadi pijakan organisasi, seraya terus berkontribusi dalam membangun keluarga dan masyarakat yang berakhlak, berdaya, dan membawa manfaat,” pungkasnya.
Seperti diketahui, pemberian gelar Pahlawan Nasional itu diberikan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Baca juga: Politisi PDIP Prediksi Bahlil Bisa Jadi Wakil Presiden: “Bisa Jadi Wapres Barang Ini”
Sebanyak 10 tokoh yang dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
1. Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Bidang Perjuangan Politik dan Pendidikan Islam)
2. Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto (Bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik)
3. Almarhumah Marsinah (Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan)
4. Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Bidang Perjuangan Hukum dan Politik)
5. Almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (Bidang Perjuangan Pendidikan Islam)
6. Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Bidang Perjuangan Bersenjata)
7. Almarhum Sultan Muhammad Salahuddin (Bidang Perjuangan Pendidikan dan Diplomasi)
8. Almarhum Syaikhona Muhammad Kholil (Bidang Perjuangan Pendidikan Islam)
9. Almarhum Tuan Rondahaim Saragih (Bidang Perjuangan Bersenjata)
10. Almarhum Zainal Abidin Syah (Bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi)
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Chaerul Umam)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.