Al Araf Ingatkan Penyimpangan Peran TNI: Jangan Sampai Kalah Perang karena Tentara Sibuk Urus Pangan
Al Araf, menyoroti dinamika hubungan sipil-militer dalam negara demokrasi dan mendesak adanya penguatan kontrol sipil.
Ringkasan Berita:
- Ketua Centra Initiative Al Araf menegaskan pentingnya kontrol sipil yang demokratis atas TNI.
- Al Araf mengkritik pergeseran peran TNI yang dinilai terlalu terlibat dalam proyek-proyek pemerintah.
- Ia merumuskan lima pilar profesionalisme TNI—well educated, well paid, well trained, well equipped, dan well missioned.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, menyoroti dinamika hubungan sipil-militer dalam negara demokrasi dan mendesak adanya penguatan kontrol sipil yang demokratis atas Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam diskusi virtual bertajuk ‘Hubungan Sipil Militer dalam Negara Demokrasi: Dinamika Reformasi TNI’ pada Jumat (14/11/2025), Al Araf mengingatkan bahwa Indonesia telah memasuki era The New Generation of Warfare atau generasi perang keempat.
"Sejak Perang Teluk 1990, kemenangan dalam perang asimetrik ditentukan oleh dua faktor: tentara yang profesional dan menguasai teknologi, serta persenjataan yang modern," tegas Al Araf.
Dia pun memperingatkan bahwa jika dua hal fundamental ini tidak dipastikan, Republik ini bisa berada dalam keadaan kacau jika suatu saat konflik dengan negara tetangga benar-benar terjadi.
Oleh karena itu, Al Araf menekankan bahwa pemerintah dalam sistem demokrasi harus membangun democratic civilian control atau objective civilian control.
Dia pun menegaskan bahwa militer harus ditempatkan sebagai instrumen alat perang, bukan sebagai instrumen politik.
"Yang terjadi hari ini, militer justru menjadi bagian untuk menopang proyek-proyek rezim. Hal ini merugikan profesionalisme TNI," ujarnya.
Dia menyatakan keprihatinannya bahwa penyimpangan peran ini justru terjadi di tengah fakta bahwa Indonesia menghadapi berbagai tantangan keamanan eksternal.
"Kita sayang pada TNI. Kita menginginkan tentara yang profesional karena fakta eksternal kita penuh dengan tantangan. Dengan Malaysia, di Laut China Selatan, dengan Australia, dengan Papua Nugini," paparnya.
"Jangan sampai ketika perang benar-benar terjadi, kita kalah karena tentara tidak terlatih," sambung Al Araf.
Al Araf merumuskan lima pilar utama untuk menciptakan militer yang profesional. Menurutnya, TNI yang profesional harus well educated, well paid, well trained, well equipped, and well missioned.
Artinya, TNI harus terdidik, sejahtera, terlatih, dilengkapi persenjataan modern, dan yang terpenting, memiliki misi yang jelas.
"Misi mereka adalah bersiap untuk perang, bukan mengurusi cetak sawah atau program pangan," tegas Al Araf menegaskan.
Baca juga: Melihat Revolusi Latihan Tempur TNI, Gunakan Remote Control untuk Gladi Antar Matra
Pernyataan ini menyiratkan kritik terhadap keterlibatan TNI dalam program-program pemerintah di luar domain pertahanan, seperti program ketahanan pangan, yang dinilai dapat mengikis fokus dan profesionalisme pokok dari institusi tentara.
| HUT Korps Marinir Diperingati Tanggal 15 November, Simak Sejarah dan Kumpulan Ucapannya Tahun 2025 |
|
|---|
| Profil Marsda TNI Djoko Hadipurwanto, Eks Danlanud El Tari yang Kini Jabat Pangkoopsau |
|
|---|
| Profil Laksdya TNI Budi Purwanto, Jebolan AAL 1989 yang Kini Jabat Komandan Pushidrosal |
|
|---|
| Profil Laksda TNI Dery Triesananto, Jebolan AAL 1991 Kini Jabat Komandan Kodaeral VIII Manado |
|
|---|
| Serangan Siber dan Ketergantungan pada Teknologi Asing Jadi Ancaman Kedaulatan Digital |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.