Ijazah Jokowi
Bonatua Silalahi Bawa Hasil Penelitian Kasus Ijazah Jokowi Untuk Uji UU Pemilu di MK
Pengamat Kebijakan Publik Bonatua Silalahi mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke MK.
Ringkasan Berita:
- Bukti yang diajukan ke MK berasal dari penelitian kasus ijazah Jokowi
- Minta agar autentikasi ijazah wajib bagi pejabat publik sebagai syarat maju Pilpres, Pemilu, dan Pilkada
- Berharap kasus ijazah palsu yang melibatkan pejabat publik tak terjadi di masa depan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Bonatua Silalahi mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bonatua adalah sosok yang mendapatkan salinan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam permohonannya ke MK, Bonatua membawa sejumlah hasil penelitian yang ia peroleh saat meneliti kasus dugaan ijazah palsu Jokowi.
“Terkait dugaan ijazah palsu Jokowi, bukti-bukti yang saya kumpulkan pada uji di MK berasal dari hasil penelitian yang saya peroleh dalam meneliti kasus ijazah ini,” kata Bonatua saat dikonfirmasi, Selasa (18/11/2025).
Bonatua menguji Pasal 169 huruf R UU Pemilu terkait syarat pendidikan calon presiden/wakil presiden minimal SLTA atau sederajat.
Baca juga: Bonatua Silalahi Gugat UU Pemilu ke MK, Minta Autentikasi Ijazah Jadi Syarat Maju Pilpres
Ia juga menguji aturan turunan UU Pemilu yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang pencalonan Pilpres, khususnya yang tertuang dalam pasal 18 ayat (1) huruf m dan pasal 19 ayat (2) serta PKPU Pilkada Nomor 13 Tahun 2010 pasal 9 ayat (1) huruf m dan pasal 17 ayat (2).
Pada pokoknya, Bonatua meminta agar diwajibkan autentikasi ijazah bagi pejabat publik sebagai syarat maju Pilpres, Pemilu, dan Pilkada.
Sebab menurutnya, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945, semua warga negara sama kedudukannya di mata hukum.
Baca juga: Roy Suryo-Rismon Usai Diperiksa 9 Jam Kasus Ijazah Jokowi, Pekik Merdeka dan Takbir Terdengar
“Harapannya dengan diterimanya uji MK ini nantinya kasus ijazah palsu yang melibatkan pejabat publik yang dipilih melalui UU Pemilu di masa depan tidak terjadi,” ujarnya.
“Karena dilakukan klarifikasi atau autentikasi yang dilakukan KPU melalui ahli-ahli yang kompeten,” sambung Bonatua.
Pasal 169 huruf R UU Pemilu disebut Bonatua menyebut tidak ada aturan soal mekanisme verifikasi keaslian ijazah asli yang menjadi dasar syarat tersebut.
Dalam praktiknya, KPU hanya mensyaratkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisir, tanpa ada kewajiban melakukan klarifikasi, verifikasi faktual, atau autentikasi terhadap ijazah asli.
Lebih lanjut, Bonatua menyoroti diksi “dapat” dan “apabila diperlukan” dalam Pasal 19 ayat (2) PKPU 19/2023 yang mengatur soal fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi oleh instansi berwenang sebagai persyaratan bakal pasangan calon.
Aturan itu menjadikan kewenangan KPU bersifat opsional, bukan wajib.
PKPU 19/2023 menurutnya juga punya pola identik dengan PKPU 13/2010, di mana kewenangan KPU untuk melakukan klarifikasi atau autentikasi tidak bersifat kewajiban hukum melainkan pilihan administratif.
Sebagai informasi, sidang perdana bakal berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025) besok.
Bonatua Silalahi menerima salinan ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah dilegalisir melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Senin (13/10/2024).
Salinan ijazah Jokowi tersebut diterima Bonatua setelah dirinya sempat mempertanyakan transparansi sejumlah lembaga terkait.
Kasus Ijazah Jokowi
Polda Metro Jaya saat ini sedang menangani dua objek perkara kasus tudingan ijazah palsu Jokowi.
Objek perkara pertama yakni pencemaran nama baik yang dilaporkan Jokowi pada 30 April 2025.
Kemudian objek perkara kedua penghasutan dan penyebaran berita bohong yang dilaporkan ke sejumlah Polres oleh beberapa pihak.
Kedua objek perkara tersebut telah naik ke tahap penyidikan.
Dalam kasus ini Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka.
Penetapan tersangka dibagi dalam dua klaster.
Ada lima tersangka dalam klaster pertama adalah Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadillah.
Dalam klaster kedua ditetapkan tiga tersangka yakni Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma.
Para tersangka dijerat Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 32 juncto Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.