Anggota DPR Menilai Keterlambatan Regulasi Upah Minimum 2026 Bentuk Kelalaian Pemerintah
Keterlambatan pemerintah dalam menyiapkan landasan hukum penetapan Upah Minimum (UM) 2026 dinilai sebagai bentuk kelalaian serius.
Ringkasan Berita:
- Keterlambatan pemerintah dalam menyiapkan landasan hukum penetapan Upah Minimum (UM) 2026 dinilai sebagai bentuk kelalaian serius.
- Hal ini akan berdampak langsung pada pekerja dan pelaku usaha.
- Pemerintah seharusnya memastikan regulasi hadir sebelum kebijakan diumumkan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP Edy Wuryanto, menilai keterlambatan pemerintah dalam menyiapkan landasan hukum penetapan Upah Minimum (UM) 2026, sebagai bentuk kelalaian serius yang berdampak langsung pada pekerja dan pelaku usaha.
Hingga memasuki batas waktu sebagaimana diatur dalam PP 36/2021, Kementerian Ketenagakerjaan belum menentukan regulasi yang akan menjadi dasar penetapan UM.
Edy mengingatkan bahwa PP 36/2021 telah menetapkan tenggat bagi gubernur untuk menetapkan UM provinsi paling lambat 21 November, serta UM kabupaten/kota paling lambat 1 Desember.
"Jika regulasinya saja tidak disiapkan, bagaimana mungkin kepala daerah bisa bekerja sesuai mandat? Pemerintah pusat tidak boleh menjadi sumber kekacauan," kata Edy kepada wartawan, Rabu (19/11/2025).
Baca juga: UMP 2026 Segera Diumumkan: Berikut Jadwal, Rumus Perhitungan, dan Tuntutan Buruh
Dia menilai situasi ini mengulang pola buruk tahun sebelumnya, ketika presiden mengumumkan kenaikan UM 2025 sebesar 6,5 persen tanpa proses regulatif yang transparan, yang kemudian diikuti dengan terbitnya Permenaker yang menyesuaikan angka tersebut.
"Upah itu bukan angka yang turun dari podium lalu disulap jadi kebijakan. Negara ini punya hukum. Penetapan UM tidak boleh bertumpu pada pernyataan," ucapnya.
Edy menilai, pemerintah seharusnya memastikan regulasi hadir sebelum kebijakan diumumkan.
Dia juga menyoroti pemberlakuan angka kenaikan tunggal seperti 6,5 persen pada UM tahun lalu karena dinilai merugikan pekerja di daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Edy mencontohkan Maluku Utara yang mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 34,58 persen pada triwulan I 2025.
"Bagaimana mungkin pekerja di daerah dengan lonjakan ekonomi setinggi itu disamakan begitu saja dengan provinsi lain? Kalau pemerintah bicara keadilan, mestinya berangkat dari data, bukan dari angka seragam," ucapnya.
Selain itu, Edy menilai pemerintah telah mengabaikan amanat Mahkamah Konstitusi terkait Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar konstitusional penetapan upah.
"KHL itu bukan opsi, melainkan dasar konstitusional dalam menentukan upah. Sudah ada Permenaker 18/2020 yang mengatur 64 item KHL, tetapi lagi-lagi tidak dijadikan rujukan. Jangan sampai negara sengaja menutup mata terhadap instrumen yang melindungi pekerja,"” ucapnya.
Edy juga menilai hilangnya peran Dewan Pengupahan Daerah dalam proses UM 2026 menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan MK 168.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/tribunnews/foto/bank/originals/edy-wuryanto-pdip.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.