Jumat, 21 November 2025

Pentingnya Pola Asuh Agar Anak Tak Jadi Target Rekrutmen Kelompok Teror

Fenomena anak menjadi target rekrutmen kelompok teror menjadi pertanda pentingnya pola asuh keluarga.

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Wahyu Aji
Dokumentasi pribadi
POLA ASUH ANAK - Pengamat Terorisme dari Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah. Dirinya menyebut fenomena anak menjadi target rekrutmen kelompok teror menjadi pertanda pentingnya pola asuh keluarga. 

Anak-anak yang dianggap potensial kemudian diarahkan ke grup privat terenkripsi, tempat indoktrinasi berlangsung lebih intensif.

Anak-anak dari keluarga broken home atau kurang perhatian orang tua lebih rentan menjadi target utama.

Fantasi utopis yang ditawarkan perekrut sering kali membuat anak merasa tertarik dan akhirnya masuk ke lingkaran radikalisme.

Baca juga: Presiden Prabowo Kaji Pembatasan Game Online Sikapi Insiden Ledakan di SMA 72 Jakarta

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi langkah cepat Polri dan Densus 88 dalam mengungkap kasus ini.

Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah menekankan bahwa keberhasilan ini merupakan bentuk nyata hadirnya negara melindungi anak dari ancaman ideologi radikal.

Edukasi literasi digital, penguatan nilai kebangsaan, serta pengawasan konten daring menjadi kunci mencegah anak terjerumus. 

Terkini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol (Purn) Eddy Hartono menyebut pelaku ledakan bom di SMAN 72 Jakarta inisial F ternyata ikut dalam sebuah grup ekstremisme bernama 'True Crime Community'.

"Kalau di SMAN 72 diketahui Densus (pelaku) dia mengakses kepada grup namanya TCC, True Crime Community," kata Eddy saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).

Eddy menyebut terduga pelaku atau anak berkonflik dengan hukum (ABH) itu meniru perilaku apa yang terjadi.

Di dalam kajian psikologis terdapat istilah memetic radicalization atau memetic violence.

Memetic violence merupakan kekerasan yang dihasilkan dari keinginan untuk meniru agresi atau tindakan dari sosok yang diidolakan atau konten yang dilihat secara daring. 

Pelaku sering kali tidak memiliki kepentingan langsung dengan objek kekerasan tersebut, melainkan hanya meniru perilaku yang dilihatnya.

"Jadi dia lebih kepada meniru ide atau perilaku sehingga dia meniru supaya bisa dibilang hebat ya, supaya ada kebanggaan," tuturnya.

Eddy menuturkan kondisi ini perlu melibatkan ahli-ahli psikologis untuk memetakan apa yang sebetulnya terjadi, baru dilakukan upaya rehabilitasi. 

Baca juga: Penjelasan Apa Itu True Crime Community? Ini Hubungannya dengan Pelaku Ledakan Bom di SMA 72 Jakarta

"Itulah yang kami sekarang (lakukan koordinasi) dengan Kementerian PPA, dengan KPAI, kemudian Kemensos," tukasnya.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved