Revisi UU TNI
Sosok 2 Advokat Perempuan Gabung Tim Gugat UU TNI ke MK, Persoalkan Tentara Rangkap Jabatan Sipil
Ada 2 tambahan pemohon yang ikut menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, menguji materi aturan tentara rangkap jabatan sipil
Ia memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Brawijaya, Malang.
Profil profesional Yosephine juga ditemukan pada direktori LinkedIn law practice, mengindikasikan kiprahnya di sektor jasa hukum yang semakin formal.
Ia tergabung dalam Khatulistiwa Law Firm.
Dengan kehadirannya dalam tim penggugat UU TNI, Yosephine menambah warna perspektif dari sisi advokasi publik dan pengalaman dalam isu tenaga kerja.
Pengujian UU TNI yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan sejumlah pasal yang dianggap memiliki potensi tumpang tindih dengan prinsip supremasi sipil dan pembagian kewenangan antar-lembaga negara.
Dalam siaran pers MK, keduanya disebut sebagai bagian dari kuasa hukum yang mendampingi pemohon sejak awal proses.
Keterlibatan dua advokat perempuan ini memperlihatkan bahwa isu pertahanan tidak lagi dipandang eksklusif, melainkan membuka ruang partisipasi lebih luas dari berbagai kalangan profesional hukum.
Adapun dalam sidang perbaikan pendahuluan pada Kamis (20/11/2025), Syamsul menyatakan dua pemohon tambahan tersebut telah memenuhi kualifikasi untuk mengajukan uji materi UU TNI terhadap UUD 1945.
Baca juga: Sidang Perdana Uji Materi UU TNI Hari Ini, Poin-poin yang Digugat
Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang diuji berbunyi bahwa prajurit dapat menjabat di kementerian atau lembaga yang mengurusi koordinasi politik dan keamanan, pertahanan, kesekretariatan presiden dan militer presiden, intelijen negara, siber maupun sandi negara, lembaga ketahanan nasional, SAR nasional, narkotika nasional, pengelolaan perbatasan, kelautan dan perikanan, penanggulangan bencana, pemberantasan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan RI, dan Mahkamah Agung.
Syamsul menjelaskan bahwa ketentuan tersebut memberikan ruang kewenangan yang sangat luas kepada anggota TNI dan berpotensi berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, terutama bagi masyarakat di Papua yang berada dalam wilayah NKRI.
"Menurut kami, norma pada ayat (2) pasal tersebut juga tidak tegas, sehingga menimbulkan ambiguitas terkait larangan, pengecualian, maupun batasannya," tegasnya.
Para Pemohon mempersoalkan Pasal 47 ayat (1) karena membuka opsi bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil tertentu tanpa perlu mengundurkan diri ataupun pensiun terlebih dahulu dari dinas keprajuritan.
Syamsul menekankan bahwa masalah konstitusional muncul karena pasal tersebut tidak secara jelas membedakan lembaga yang berada dalam ranah pertahanan negara dengan institusi sipil administratif.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Jumat (7/11/2025) di ruang sidang MK, Syamsul menyampaikan bahwa berlakunya ketentuan ini justru bertentangan dengan kebijakan negara yang mendorong perluasan kesempatan kerja bagi seluruh warga negara.
Ia menyebut masyarakat sipil, termasuk para Pemohon, kini menghadapi meningkatnya angka pengangguran, PHK, serta kesulitan memperoleh pekerjaan layak, sementara prajurit TNI diberikan peluang mengisi posisi sipil tanpa prosedur yang sama seperti warga lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.