Selasa, 28 Oktober 2025

Semangat Guru Diana, Nyalakan Asa Siswa di Pedalaman Papua, Kolaborasi Jadi Kunci

Di tengah keterbatasan di Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Papua Selatan, guru Diana Cristiana Da Costa Ati menyalakan harapan lewat pendidikan.

|
ISTIMEWA/DIANA CRISTIANA DA COSTA ATI
SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati saat mengajar di SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Diana adalah salah satu guru kontrak dalam program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) sekaligus penerima apresiasi 14th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 dari PT Astra International Tbk. 

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mappi, Maria Goreti Letsoin mengungkapkan, salah satu alasan kemampuan calistung anak-anak di Mappi sangat rendah adalah ketiadaan guru.

"Guru-gurunya secara administrasi ada, tetapi mereka tidak berada di tempat (sekolah), sehingga proses belajar mengajar tidak berjalan seperti yang idealnya kita lakukan," tutur Maria.

Hal senada juga disampaikan Bupati Mappi periode 2017–2022 dan 2025–2030, Kristosimus Yohanes Agawemu. Menurutnya, proses pendidikan di sebagian besar sekolah dasar di Kota Sejuta Rawa tidak berjalan dengan baik.

"Infrastruktur gedungnya tidak memadai, para guru pun tidak aktif, sehingga masa depan anak-anak terancam dalam hal buta huruf dan seterusnya. Kebutuhan terhadap fasilitas perumahan guru juga tidak memadai," ungkap Kristosimus.

lihat fotoPETA KABUPATEN MAPPI - Peta Kabupaten Mappi, Papua Selatan yang diambil dari akun Instagram Gugus Tugas Papua UGM, Minggu (26/10/2025).
PETA KABUPATEN MAPPI - Peta Kabupaten Mappi yang saat itu masih masuk Provinsi Papua tahun 2019, diambil dari akun Instagram Gugus Tugas Papua UGM, Minggu (26/10/2025). 

Kristosimus lantas menginisiasi program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) pada tahun 2017. Bekerjasama dengan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM), mereka menyeleksi para lulusan sarjana dari berbagai daerah di Indonesia untuk mengabdi sebagai guru kontrak di Mappi.

Mereka ditempatkan ke kampung-kampung terpencil, termasuk Kampung Atti. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis, Kampung Atti termasuk ke dalam daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal).

Nah, satu dari ratusan anak muda yang lolos seleksi program GPDT adalah Diana. Maka pada 3 Oktober 2018, lulusan jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Nusa Cendana Kupang itu tiba di Bumi Cendrawasih. 

"Dari dulu, saya selalu tertarik dengan Papua dan program guru mengajar di tempat terpencil. Ketika tahu informasi ada GPDT, tanpa pikir panjang, saya langsung mendaftar," ucap Diana saat ditanyai alasannya.

Kala itu, penempatan pertamanya bukan di Kampung Atti, melainkan Kampung Kaibusene, Distrik Haju yang berbatasan dengan Kabupaten Asmat. Pada tahun 2021, Diana menandatangani kontrak baru dan berpindah tugas ke Kampung Atti.

Selama pengabdiannya, Diana mendapatkan gaji sebesar Rp 4 juta per bulan. Namun nilai tersebut harus dipotong pajak pendapatan 5 persen.

"Saat itu, Bapak Bupati bilang, 'sebenarnya sebagai kepala daerah, saya malu menggaji kalian dengan nominal sekian. Tapi karena ini misi kemanusiaan, mari kita bergerak bersama-sama,'" kata Diana menirukan ucapan Kristosimus.

Kampung Terpencil

lihat fotoSEMANGAT MENGAJAR - Tangkap layar momen Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak di Kabupaten Mappi, Papua Selatan melewati jembatan yang rusak di Kampung Atti.
SEMANGAT MENGAJAR - Tangkap layar momen Diana Cristiana Da Costa Ati dan rekannya yang merupakan guru kontrak di Kabupaten Mappi, Papua Selatan melewati jembatan yang rusak. (YouTube.com/Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Diana berkisah, Kampung Atti dikelilingi hutan lebat dan rawa-rawa luas. Perjalanan menuju ke sana dari Kepi, Ibu Kota Kabupaten Mappi memakan waktu berjam-jam, menembus jalur air dan daratan.

"Lama perjalanan pun sangat bergantung pada musim. Saat musim kemarau, waktu tempuh menjadi jauh lebih panjang dibanding musim hujan," jelas Diana yang saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Manajemen dan Kebijakan Publik di UGM.

Dari Kepi, perjalanan dimulai dengan melintasi jalan beraspal, menggunakan ojek atau mobil travel selama 30 menit menuju Pelabuhan Agham. Perjalanan dilanjutkan menggunakan perahu ketinting, menyusuri Sungai Mappi menuju Kampung Khaumi selama tiga hingga empat jam.

Jalur ini hanya bisa dilalui saat musim hujan. Ketika sungai meluap, airnya justru menjadi jalan bagi perahu untuk melintas. Setiba di Kampung Khaumi, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 1,5 jam, melewati rawa-rawa dengan air setinggi lutut dan jembatan rusak menuju Kampung Atti.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved