Semangat Guru Diana, Nyalakan Asa Siswa di Pedalaman Papua, Kolaborasi Jadi Kunci
Di tengah keterbatasan di Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Papua Selatan, guru Diana Cristiana Da Costa Ati menyalakan harapan lewat pendidikan.
Sesampainya di Kampung Atti, Diana masih harus berjalan lagi sekitar 300-400 meter menuju mes yang masih satu lokasi dengan SDN Atti. Di mes inilah, Diana dan dua rekan guru lainnya tinggal.
Sementara saat musim kemarau, Diana dkk akan menaiki perahu ketinting terlebih dahulu dari Kampung Ima ke Kampung Koba selama kurang lebih satu jam. Dari Kampung Koba, tidak ada moda transportasi yang dapat digunakan, sehingga harus berjalan kaki selama hampir 3 jam menuju Kampung Atti.
Untuk penerangan, warga Kampung Atti sebelumnya mengandalkan mesin diesel. Sayangnya, mesin itu tidak menyala setiap hari karena pasokan solar bergantung pada ketersediaan dana dan inisiatif kepala kampung atau warga yang membeli bahan bakar tersebut.
Kini, kebutuhan penerangan warga juga ditopang oleh panel surya. Empat unit panel telah dipasang: dua untuk kampung, satu untuk sekolah, dan satu lagi di mes guru.
Begitu pula dengan jaringan internet yang mulai masuk pada tahun 2023, ditandai dengan pembangunan sebuah menara BTS di dekat sekolah. Meski begitu, sinyal masih sering hilang timbul.
Perubahan Dimulai
Saat ini, Kampung Atti dihuni oleh sekitar 500 hingga 700 jiwa yang tersebar dalam 80-an Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar laki-laki menggantungkan hidup dari hasil mencari gaharu atau berburu di hutan, sedangkan kaum perempuan memangkur sagu.
Sering kali, anak-anak mereka ikut masuk keluar hutan, membantu orang tua. Kebiasaan ini membuat tingkat partisipasi untuk bersekolah di Kampung Atti cukup rendah, selain karena alasan terbatasnya sarana pengajar.
"Datanya kocar-kacir. Secara administrasi, jumlahnya 80an murid, tapi di lapangan, bisa kurang dari jumlah itu. Secara usia, mayoritas dari mereka seharusnya sudah SMP atau SMA," sebut Diana seraya melanjutkan, data tersebut baru bisa tertata rapi pada tahun 2023.
Ia juga mengakui, dukungan dari orang tua agar anak-anak bersekolah masih sangat minim. Pendidikan dasar di rumah hampir tidak pernah diberikan. Hal ini tak lepas dari keyakinan yang hidup di tengah masyarakat. Bahwa tanpa bersekolah pun, mereka tetap bisa makan karena alam telah menyediakan segalanya.
"Di hutan ada sagu yang melimpah, ikan tinggal mancing di sungai, mau makan daging hewan, tinggal berburu. Mereka potong logika berpikir tentang pendidikan, bahwa akhir dari proses pendidikan untuk makan," ungkapnya.
Setelah mengetahui sejumlah masalah yang terjadi, Diana dkk melakukan sejumlah perubahan. Kegiatan belajar mengajar yang telah lama mati suri, dihidupkannya lagi.
Mereka membuka sekolah yang terdiri dari tiga ruang kelas itu setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 12.00 waktu setempat. Siapapun siswa yang datang sekolah akan diterima, tanpa mengutip bayaran sepeser pun.
Diana berinisiatif meningkatkan kemampuan membaca dan menulis serta berhitung siswa melalui pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika agar bisa mengejar ketertinggalan.
"Meskipun sudah kelas 5 dan 6, nyatanya sebagian besar dari mereka belum lancar membaca. Bahkan menulis saja, mereka kebolak-balik, dari kanan ke kiri," urai Diana.
Hampir setiap hari, ia melatih siswa membaca, memanggil mereka satu per satu, dan memastikan setiap anak mendapatkan perhatian yang sama. Anak yang sudah mahir membaca akan dijadikan contoh sekaligus motivasi bagi siswa yang belum lancar.
| Profil Brigjen TNI Dwi Endro Sasongko, Jebolan Akmil 1994 Kini Jabat Inspektur Kodam Mandala Trikora |
|
|---|
| Membawa Pesan Presiden Prabowo untuk Anak Papua di Isyaman, Menkum Serahkan Tas dan Sepatu Sekolah |
|
|---|
| Mengenal Etanol hingga Dampak Penggunaannya bagi Kendaraan Modern dan Lawas, Simak di Sini |
|
|---|
| Ada Kuromi di Honda Scoopy, Desain Motornya Cool dan Funky! |
|
|---|
| Honda Pastikan Motor Produksi Terbaru Aman Gunakan BBM dengan Etanol 10 Persen |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.