Selasa, 28 Oktober 2025

Semangat Guru Diana, Nyalakan Asa Siswa di Pedalaman Papua, Kolaborasi Jadi Kunci

Di tengah keterbatasan di Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Papua Selatan, guru Diana Cristiana Da Costa Ati menyalakan harapan lewat pendidikan.

|
ISTIMEWA/DIANA CRISTIANA DA COSTA ATI
SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati saat mengajar di SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Diana adalah salah satu guru kontrak dalam program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) sekaligus penerima apresiasi 14th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 dari PT Astra International Tbk. 

Sesampainya di Kampung Atti, Diana masih harus berjalan lagi sekitar 300-400 meter menuju mes yang masih satu lokasi dengan SDN Atti. Di mes inilah, Diana dan dua rekan guru lainnya tinggal.

lihat fotoMENGAJAR DI PEDALAMAN - Suasana SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Tampak ada bangunan mes yang menjadi tempat tinggal para guru program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT).
MENGAJAR DI PEDALAMAN - Suasana SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Tampak ada bangunan mes yang menjadi tempat tinggal para guru program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT). (YouTube.com/Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Sementara saat musim kemarau, Diana dkk akan menaiki perahu ketinting terlebih dahulu dari Kampung Ima ke Kampung Koba selama kurang lebih satu jam. Dari Kampung Koba, tidak ada moda transportasi yang dapat digunakan, sehingga harus berjalan kaki selama hampir 3 jam menuju Kampung Atti.

Untuk penerangan, warga Kampung Atti sebelumnya mengandalkan mesin diesel. Sayangnya, mesin itu tidak menyala setiap hari karena pasokan solar bergantung pada ketersediaan dana dan inisiatif kepala kampung atau warga yang membeli bahan bakar tersebut.

Kini, kebutuhan penerangan warga juga ditopang oleh panel surya. Empat unit panel telah dipasang: dua untuk kampung, satu untuk sekolah, dan satu lagi di mes guru. 

Begitu pula dengan jaringan internet yang mulai masuk pada tahun 2023, ditandai dengan pembangunan sebuah menara BTS di dekat sekolah. Meski begitu, sinyal masih sering hilang timbul.

Perubahan Dimulai

Saat ini, Kampung Atti dihuni oleh sekitar 500 hingga 700 jiwa yang tersebar dalam 80-an Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar laki-laki menggantungkan hidup dari hasil mencari gaharu atau berburu di hutan, sedangkan kaum perempuan memangkur sagu.

Sering kali, anak-anak mereka ikut masuk keluar hutan, membantu orang tua. Kebiasaan ini membuat tingkat partisipasi untuk bersekolah di Kampung Atti cukup rendah, selain karena alasan terbatasnya sarana pengajar.

"Datanya kocar-kacir. Secara administrasi, jumlahnya 80an murid, tapi di lapangan, bisa kurang dari jumlah itu. Secara usia, mayoritas dari mereka seharusnya sudah SMP atau SMA," sebut Diana seraya melanjutkan, data tersebut baru bisa tertata rapi pada tahun 2023.

Ia juga mengakui, dukungan dari orang tua agar anak-anak bersekolah masih sangat minim. Pendidikan dasar di rumah hampir tidak pernah diberikan. Hal ini tak lepas dari keyakinan yang hidup di tengah masyarakat. Bahwa tanpa bersekolah pun, mereka tetap bisa makan karena alam telah menyediakan segalanya.

"Di hutan ada sagu yang melimpah, ikan tinggal mancing di sungai, mau makan daging hewan, tinggal berburu. Mereka potong logika berpikir tentang pendidikan, bahwa akhir dari proses pendidikan untuk makan," ungkapnya.

lihat fotoSUASANA KAMPUNG ATTI - Tangkap layar suasana Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis, Kampung Atti termasuk ke dalam daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal).
SUASANA KAMPUNG ATTI - Tangkap layar suasana Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis, Kampung Atti termasuk ke dalam daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). (YouTube.com/Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Setelah mengetahui sejumlah masalah yang terjadi, Diana dkk melakukan sejumlah perubahan. Kegiatan belajar mengajar yang telah lama mati suri, dihidupkannya lagi.

Mereka membuka sekolah yang terdiri dari tiga ruang kelas itu setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 12.00 waktu setempat. Siapapun siswa yang datang sekolah akan diterima, tanpa mengutip bayaran sepeser pun.

Diana berinisiatif meningkatkan kemampuan membaca dan menulis serta berhitung siswa melalui pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika agar bisa mengejar ketertinggalan. 

"Meskipun sudah kelas 5 dan 6, nyatanya sebagian besar dari mereka belum lancar membaca. Bahkan menulis saja, mereka kebolak-balik, dari kanan ke kiri," urai Diana.

Hampir setiap hari, ia melatih siswa membaca, memanggil mereka satu per satu, dan memastikan setiap anak mendapatkan perhatian yang sama. Anak yang sudah mahir membaca akan dijadikan contoh sekaligus motivasi bagi siswa yang belum lancar.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved