Sabtu, 27 September 2025

Mahasiswa Pecinta Alam UI Jelajahi Gunung Patah Selama 13 Hari

Gunung Patah bukan hanya barisan hutan belantara, melainkan ruang yang menyimpan ikatan dengan leluhur dan terus dijaga melalui ritual. 

Ist
KEKAYAAN ALAM RI - Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) memilih Gunung Patah sebagai sasaran eksplorasi pada program Satria Hutan Indonesia (SHI) 2025 selama 13 hari. (istimewa). 

Setelah mencapai ketinggian 2.500 mdpl, jalur yang sebelumnya didominasi oleh hutan tropis berangsur mulai berubah. Pohon-pohon besar mulai jarang, digantikan oleh pepohonan yang relatif lebih kecil dan seluruh permukaannya tertutup lumut tebal. 

Udara di hutan lumut ini terasa sangat lembab, kabut tebal juga sering menjadi pengiring perjalanan dengan tanahnya yang empuk sekaligus licin. 

Setelah beberapa hari perjalanan melintasi hutan lumut, Gunung Patah menunjukkan wajah aslinya, sebuah danau dengan air jernih terbentang luas di tengah rimbunnya hutan lumut. 

Danau yang luasnya kurang lebih 4 hektar ini berada pada ketinggian 2.550 mdpl dan dikenal oleh warga sekitar dengan sebutan ‘Danau Tumutan Tujuh’. 

Nama ini diberikan oleh warga sekitar karena danau tersebut dipercaya sebagai sumber mata air 7 sungai di kawasan Hutan Lindung Raja Mendara. 

“Memang bukan di puncaknya, tapi begitu melihat danau, rasa capek agaknya jadi sedikit terobati”, ungkap Aufa, salah seorang anggota tim.

Sekitar dua hari perjalanan dari danau tumutan tujuh, beberapa anggota tim mengunjungi Kawah Purba-cekungan besar yang ditengahnya terhampar air berwarna hijau pucat dan berkabut. 

Kawah tersebut berada pada ketinggian kurang lebih 2.650 mdpl dan terletak di sisi tenggara dari puncak Gunung Patah.

Setelah melintasi danau dan Kawah Purba, tim juga melewati puncak lumutan-bukan puncak sejati Gunung Patah, melainkan sebuah puncakan di tengah hutan lumut dengan ketinggian sekitar 2.750 mdpl. 

Dua belas hari pendakian telah terlewati, tepat 16 Agustus 2025, tim tiba di puncak Sejati Gunung Patah. Sehubungan esok harinya diperingati sebagai dirgahayu Republik Indonesia ke-80, sebuah upacara bendera sederhana digelar. 

Tanpa tiang resmi, bendera Merah Putih dikibarkan di antara pepohonan tinggi. Suara alunan lagu Indonesia Raya menggema, meski hanya dengan paduan suara seadanya. 

“Karena kesederhanaannya ini, Menurut saya, Upacara ini lebih sakral daripada upacara biasanya. Padahal udah 12 hari perjalanan, tapi kita masih menyempatkan waktu buat upacara, itu jadi bukti kalau kita memang benar-benar bangga sama Indonesia,” jelas Willy, salah satu anggota tim.

Rencana awalnya, tim akan kembali melalui jalur Desa Manau Sembilan. Namun, logistik yang menipis karena telah melakukan 11 hari perjalanan di hutan membuat opsi tersebut terlalu berisiko. 

Setelah diskusi panjang, tim memutuskan untuk turun melalui jalur alternatif: Jalur Kance Diwe di Pagar Alam, Sumatera Selatan. 

Pilihan ini terbukti tepat. Hujan memang membuat jalur licin dan tidak beraturan, tetapi dengan saling membantu, tim akhirnya berhasil keluar hutan pada tanggal 17 Agustus. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan