Berita Viral
Kasus Ibu dan Bayi di Papua Meninggal Usai Ditolak 4 RS Dinilai Bisa Kena Perdata-Pidana Sekaligus
Advokat mengatakan, pihak rumah sakit seharusnya tidak menolak pasien dan meminta uang muka pembayaran saat kondisi gawat darurat.
Ringkasan Berita:
- Kasus ibu hamil dan bayi di kandungannya meninggal usai ditolak 4 RS dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak atas kesehatan dan kewajiban pelayanan kesehatan
- Kasus ini bukan hanya soal etik profesi tenaga kesehatan dan tenaga medis di rumah sakit saja, tetapi bisa juga masuk dalam pelanggaran hukum administrasi, perdata, bahkan hingga tindak pidana sekaligus
- Pihak rumah sakit seharusnya tidak menolak pasien dan meminta uang muka pembayaran saat kondisi gawat darurat
TRIBUNNEWS.COM - Advokat di MSP Law Office, Muhammad Subhan, menilai kasus kematian ibu hamil, Irene Sokoy dan bayi yang dikandungnya setelah ditolak 4 rumah sakit (RS) di Kabupaten dan Kota Jayapura pada Senin (17/11/2025) lalu, sebagai pelanggaran serius.
Irene dan bayi yang dikandungnya harus meregang di dalam perjalanan menuju rumah sakit, setelah bolak-balik dirujuk dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari ke RSUD Abepura, kemudian ke RSUD Dian Harapan, ke RS Bhayangkara, dan ke RS Dok II Jayapura.
Namun, saat perjalanan ke rumah sakit terakhir, nyawa Irene dan bayi di kandungannya tidak tertolong.
Irene ditolak oleh 4 rumah sakit itu karena alasan ketiadaan dokter, tidak ada penanganan darurat, dan ketidakmampuan sistem atau fasilitas di rumah sakit.
Bahkan, di 2 rumah sakit, Irene yang terdaftar sebagai peserta BPJS tidak bisa segera ditangani karena alasan ruang untuk BPJS kelas III penuh dan hanya tersedia ruang VIP, tetapi pasien harus membayar uang muka sebesar Rp4 juta.
Atas kejadian ini, 3 dari 4 rumah sakit telah memberikan klarifikasi bahwa seluruh prosedur sudah dijalankan sesuai standar dan tidak ada unsur penolakan pasien.
Namun, pihak keluarga meminta pemerintah daerah dan pihak terkait segera melakukan investigasi terhadap dugaan penolakan layanan kesehatan tersebut.
Terkait kejadian ini, Subhan menilai bahwa kasus tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas kesehatan dan kewajiban pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan awal terhadap dugaan adanya kondisi darurat oleh fasilitas kesehatan.
"Secara hukum, kasus kematian Irene Sokoy dan janin yang dikandungnya yang kemudian ditolak oleh 4 rumah sakit yang berada di Kabupaten dan Kota Jayapura merupakan suatu pelanggaran yang sangat serius," jelasnya saat wawancara eksklusif bersama Tribunnews dalam program Kacamata Hukum, Senin (24/11/2025).
Subhan mengatakan, kasus ini bukan hanya soal etik profesi tenaga kesehatan dan tenaga medis di rumah sakit saja.
Tetapi bisa juga masuk dalam pelanggaran hukum administrasi, perdata, bahkan hingga tindak pidana sekaligus.
Baca juga: 5 Rekomendasi Penting Peneliti Kesehatan Agar Tak Ada Lagi RS Tolak Ibu Hamil seperti di Papua
"Sebenarnya, kasus ini tidak bisa dilihat secara tunggal, sebagaimana kita juga dapat melihat pada kasus-kasus serupa sebelumnya," katanya.
Subhan lantas menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah mengatur secara jelas bahwa kewajiban utama dari rumah sakit dan tenaga medis di dalam kasus gawat darurat adalah memberikan pertolongan pertama dan pelayanan kegawatdaruratan tanpa adanya diskriminasi.
Kemudian mendahulukan penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan yang mengakibatkan kematian.
Oleh karena itu, Subhan menegaskan bahwa pihak rumah sakit seharusnya tidak menolak pasien dan meminta uang muka pembayaran saat kondisi gawat darurat.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/tribunnews/foto/bank/originals/Irene-Sokoy-meninggal-duniaa.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.