Kamis, 6 November 2025

Kasus Keracunan MBG Terulang, Pakar Sebut Bukan Hanya Masalah Dapur, Tapi Kegagalan Sistemik

Berulangnya kasus keracunan program MBG mencerminkan kegagalan sistemik di sepanjang rantai pasok pangan.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Tribunnews.com/Ist
DAPUR SPPG — Sejumlah petugas menyiapkan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di salah satu dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau Dapur MBG, Jakarta, belum lama ini. Meski mendapat dukungan Menteri Keuangan, program ini dinilai belum bisa berjalan maksimal karena anggaran masih tertahan. 
Ringkasan Berita:
  • Kasus keracunan MBG acap terulang
  • Akar masalah dimulai dari tata kelola dan governance yang lemah
  • Perlu dibangun culture of safety di seluruh lini

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di sejumlah daerah. 

Setiap kali muncul, publik bertanya hal sama, mengapa hal seperti ini bisa terus berulang?

Ahli epidemiologi dan pakar kebijakan kesehatan, Dr. Dicky Budiman, menilai persoalan ini bukan soal kelalaian sesaat di dapur, melainkan masalah mendasar dalam sistem tata kelola pangan nasional.

Menurut Dicky, berulangnya kasus keracunan program MBG mencerminkan kegagalan sistemik di sepanjang rantai pasok pangan.

Baca juga: Sosok Wakil Kepala BGN Nanik S Deyang Janjikan Rp5 Juta untuk Konten Positif MBG, Disebut Candaan

“Ini intinya bukan satu faktor tunggal, melainkan kegagalan sistemik di sepanjang rantai pasok pangan,” tegas Dicky pada Tribunnews, Rabu (29/10/2025). 

Ia menjelaskan, akar masalah dimulai dari tata kelola dan governance yang lemah. 

Penunjukan vendor tidak transparan, pengawasan masih parsial, serta minim akuntabilitas independen.

Selain itu, tekanan biaya dan pengadaan bahan makanan murah membuat sanitasi diabaikan.

Masalah Tak Hanya di Dapur

Dicky menyebut, banyak dapur penyedia makanan program MBG belum memiliki standar kebersihan (hygiene) dan sertifikasi sanitasi yang memadai. 

Fasilitas air bersih, alat cuci, penyimpanan suhu aman, hingga pelatihan teknis juru masak masih jauh dari standar.

“Kalau dapur belum punya sertifikat laik hygiene dan sanitasi, itu artinya tidak ada jaminan minimum terhadap keamanan pangan. Ini bahaya,” kata Dicky menegaskan.

Selain itu, sistem pelaporan dan traceability (penelusuran bahan baku) yang lemah membuat sulit mencari sumber keracunan saat insiden terjadi.

“Respons epidemiologis kita lambat, investigasi insiden terhambat, pola penyebab tidak terekam, dan perbaikan tidak sistemik,” jelasnya.

Untuk menghentikan rantai kejadian ini, Dicky menilai pemerintah harus berani melakukan transformasi sistem pengendalian risiko, bukan hanya menegur juru masak atau vendor.

Ia menegaskan, perlu dibangun culture of safety di seluruh lini. 

Artinya, pengawasan, sanksi, pelatihan, hingga sistem pelaporan harus berjalan transparan dan berkelanjutan.

“Kalau kita bicara zero accident, itu sulit dan tidak realistis. Tapi zero preventable incident, itu sangat mungkin dicapai dengan sistem yang kuat,” tegasnya.

Dicky mencontohkan, Jepang melalui program makan sekolah Kyuushoku berhasil menekan insiden pangan berkat sistem terintegrasi. 

Begitu pula Brazil dan negara-negara Nordik yang mengedepankan kualitas gizi dan pengawasan ketat.

Namun, ia menekankan bahwa Indonesia perlu adaptasi lokal yang sesuai kapasitas sumber daya dan budaya setempat.

“Tidak ada model tunggal yang sempurna, tapi yang pasti kita harus berani berubah. Karena kesehatan anak bangsa tidak bisa dijadikan eksperimen,” tutup Dicky.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved