Tribunners / Citizen Journalism
Ustadz Yusuf Mansur, Mutiara NU yang Terlupakan
Ustadz Yusuf Mansur seorang yang multi talenta; pendakwah, motivator, penulis buku, pengusaha, sekaligus pimpinan dari pondok pesantren Daarul Quran
Editor:
Husein Sanusi
Gerakan protes yang digalang Guru Mansur ternyata manjur. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek, rencana dibongkarnya Masjid Cikini oleh pemerintah kolonial Belanda itu pun akhirnya urung dilakukan. Bersama tokoh Islam lain, Guru Mansur juga menjalin relasi dan berhubungan baik dengan tokoh-tokoh Islam nasional ternama termasuk Syekh Ahmad Syurkati, juga KH Ahmad Dahlan, Muhammad Natsir, KH. Mas Mansur, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, dan masih banyak lagi. (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, 2005:249).
Karena itu tak berlebihan kalau ada pepatah; buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Mungkin ini pepatah yang tepat untuk mengkaitkan hubungan Ustad Yusuf Mansur dengan kakek-buyutnya, Guru Mansur yang tanggal 12 Mei 1967 atau setengah abad lebih silam, wafat dalam usia 88 tahun. Ulama besar panutan umat Islam dan masyarakat Betawi sekaligus pejuang yang gigih membela republik ini. Penulis kira, apa yang sudah dilakukan oleh Ustad Mansur dalam banyak langkahnya yang nyata, para nahdiliyin lain harus mencontoh hal-hal yang positif darinya. Termasuk bagaimana berdakwah yang bisa menembus batas, teruatama masyarakat perkotaan dan melenial.
Oleh karena itu, ada sedikit keganjilan di benak penulis, Ustad Yusuf Mansur nyata dari sisi kultur, keturunan, keluarga, latar belakang pendidikan dan metode dakwahnya yang moderat khas NU, tetapi kenapa kalangan Nahdliyin masih belum memasukanya dalam daftar pendakwah NU? Padahal, selain sisi di atas, kontribusi dan popularitasnya diatas rata-rata pendakwah NU yang lain? Setidaknya ini menurut survey LSI. Penulis khawatir, hal itu disebabkan salah satunya, karena ia hanya berasal dari Betawi? Dan, penulis juga khawatir dengan anggapan bahwa NU itu adalah organisasi Jawa sentris, sehingga lumrah pendakwah potensial dari Betawi seperti Ustad Mansur terlupakan? Wallahu'alam Bishwab.
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.