Tribunners / Citizen Journalism
Mulai Rontoknya Rezim Uni Eropa Pro-perang Ukraina
Partai yang dipimpin Presiden Emannuel Macron, dikalahkan kaum sosialis konservatif kanan yang dikomandoi National Rally.
Editor:
Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Pemilihan umum di 27 negara Uni Eropa, Minggu (9/6/2024) telah menunjukkan pergeseran signifikan terkait arah dan kebijakan benua itu di sejumlah isu.
Di antaranya kebijakan tentang iklim, ketenagakerjaan, imigrasi, sanksi-sanksi ppolitik ekonomi Rusia, dan dukungan agresif terhadap perang Ukraina.
Paling menonjol adalah keunggulan suara kelompok kanan, yang mengindikasikan kemerosotan drastis kelompok tengah kiri.
Di Prancis, kelompok liberalis yang dipimpin Presiden Emannuel Macron, dikalahkan kaum sosialis konservatif kanan yang dikomandoi partai National Rally.
Macron membuat langkah cepat membubarkan Majelis Nasional, dan menyerukan Pemilu nasional akhir Juni atau awal Juli 2024.
Hasil Pemilu Parlemen Uni Eropa ini sekaligus menunjukkan Macron kemungkinan besar tidak bisa lagi berlaga di Pilpres Prancis berikutnya.
National Rally Prancis yang berhaluan kanan meraup 32 persen suara, lebih dari dua kali lipat perolehan suara partai Renaissance pimpinan Emannuel Macron.
Baca juga: Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, dan Nafsu Perang Emmanuel Macron
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari ke-837: Biden Peringatkan Putin Tak akan Berhenti di Ukraina
Tokoh Pemimpin National Rally, Marine Le Pen menyatakan siap mengambil alih kekuasaan Prancis secara konstitusional.
Meskipun Le Pen mendukung pengiriman senjata ke Ukraina, dia menentang penggunaannya untuk menyerang wilayah Rusia.
Le Pen juga berpendapat sanksi ekonomi dan politik bertubi-tubi terhadap Moskow tidak efektif dan justru merugikan Eropa.
Di Jerman, kelompok politik Kanselir Jerman Olaf Scholz di Partai Sosial Demokrat berhaluan kiri-tengah, memperoleh hasil buruk.
Mereka mulai didekati partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) yang berulang kali menolak sanksi barat terhadap Rusia dan menentang bantuan militer ke Ukraina.
Pemimpin AfD Alice Weidel mengatakan, mereka kini menjadi kekuatan politik kedua di Jerman setelah meraih hasil dukungan signifikan di parlemen.
Partai Konservatif untuk Kebebasan (PVV) di Belanda, yang dipelopori politisi ekstrem kanan Geert Wilders bertengger di urutan kedua dengan 17 persen suara.
Kelompok ini diproyeksikan mendongkrak kursi di parlemen Uni Eropa dari satu kursi menjadi tujuh kursi.
Wilders menentang pengiriman bantuan militer ke Ukraina, dengan alasan dukungan agresif ke perang Kiev akan membuat militer Belanda tak mampu mempertahankan negaranya sendiri.

Di Belgia, Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo mengumumkan pengunduran dirinya setelah partainya Open VLD mengalami kekalahan telak.
Open VLD hanya memperoleh 5,8 persen suara, sementara partai sayap kanan Vlaams Belang dan partai nasionalis Flemish N-VA masing-masing memperoleh lebih dari 14,8 dan 14,2 persen suara.
Di Italia, partai sayap kanan Fratelli d’Italia (Saudara Italia) yang dipimpin Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni memenangkan Pemilu dengan raihan 28 persen suara.
Mereka memperoleh 28 kursi, lompatan hasil setelah Pemilu 2019 mereka hanya mendapatkan 5 kursi.
Meloni, yang saat ini menjabat Ketua Kelompok Konservatif dan Reformis Eropa (ECR) mengecam Presiden Emannuel Macron atas idenya mengirim tentara Eropa ke Ukraina.
Meloni menentang peningkatan ketegangan antara NATO dan Moskow. Meski ironisnya, Italia juga membantu Ukraina dalam perangnya melawan Rusia.
Paket bantuan militer Italia ke Ukraina termasuk persenjataan modern dan rudal jarak menengah Storm Shadow, rudal antitank Milan, dan rudal panggul Stinger.
Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini sebelumnya telah mendesak warga negara-negara Uni Eropa menentang kekuatan sayap kiri liberalis di Parlemen Uni Eropa.
Ia mengingatkan dukungan terhadap kekuatan yang kini menguasai Uni Eropa bisa membawa benua itu ke perang dunia baru.
Sekurangnya ada empat tokoh utama di Uni Eropa dan NATO yang memimpin kebijakan agresif terhadap Rusia terkait konflik Ukraina.
Pertama, Sekjen NATO Jens Stoltenberg yang mantan Perdana Menteri Norwegia. Kedua, Ursula von de Leyen, Ketua Komisi Uni Eropa yang mantan Menteri Pertahanan Jerman.
Tokoh ketiga Presiden Prancis Emannuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz. Keempatnya konsisten menarasikan Rusia adalah ancaman eksistensial bagi Uni Eropa.
Rusia dan Vladimir Putin, di mata empat tokoh ini, tidak akan berhenti di Ukraina saja. Putin akan menyerang Eropa jika memenangkan pertempuran Ukraina.
Mencermati hasil-hasil pemilu parlemen Uni Eropa di negara-negara utama ini sepertinya memang memberi petunjuk bakal terbentuknya blok baru politik yang berbeda dengan konstelasi saat ini.
Blok baru ini dengan demikian berpotensi mengubah keadaan dan kebijakan Uni Eropa yang sangat agresif sejak pecahnya perang Ukraina.
Blok besar berhaluan kanan konservatif ini juga berpeluang mengubah aneka kebijakan Uni Eropa terkait perubahan iklim, pertanian, kebijakan migrasi, yang jadi isu signifikan di Jerman, Belanda, Prancis.
Namun demikian, konstelasi baru ini meninggalkan tantangan besar karena kelompok-kelompok politik sayap kanan ini umumnya sulit bersatu.
Contohnya, antara Marine Le Pen di Prancis dan Giorgia Meloni di Italia, menunjukkan perbedaan sikap dan pandangan yang kerap bertentangan.
Dalam kass Ukraina, Meloni mendukung Ukraina lewat bantuan keuangan dan senjata, namun menolak penggunaan senjata jarak jauh guna menyerang target Rusia.
Meloni juga menentang keras gagasan Macron untuk mengirim tentara Eropa ke medan konflik Ukraina.
Roma di tangan Meloni, akan berhenti memberikan persenjataan kepada Ukraina kecuali mereka yakin perangkat keras tersebut tidak akan digunakan untuk menyerang jauh ke Rusia.
Di Jerman, suara penentangan kebijakan agresif Uni Eropa lama disuarakan Sahra Wagenknecht, politikus kawakan sayap kiri negara itu.
Wagenknecht tegas menolak peran dan keterlibatan Jerman dalam hal apapun di Ukraina. Ia menuntut penyelesaian damai perselisihan itu, karena khawatir pecahnya perang besar di Eropa.
Tokoh perempuan Jerman itu menyebuut adalah langkah gila mengizinkan Ukraina menyerang target di Rusia menggunakan senjata buatan Jerman.
Wagenknecht membentuk Aliansi Sahra Wagenknecht (BSW), partai berhaluan kiri di isu-isu ekonomi tetapi punya persamaan dengan sayap kanan dalam isu seperti kebijakan imigrasi.
Aliansi Sahra Wagenknecht meraih dukungan sekira 7 persen suara pemilih Jerman di pemilihan Parlemen Eropa.
Wagenknecht mendesak negara-negara barat berhenti bermain api, dan segera menghentikan perang di Ukraina.

Kebijakan agresif ala NATO, Emannuel Macron, dan Von Der Leyen, serta terutama Joe Biden di Washington memang sangat berisiko.
Dalam sepekan terakhir, Ukraina telah aktif menembakkan rudal-rudal jarak menengah kiriman AS, Inggris, Prancis ke target di wilayah Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan negara-negara barat, Moskow akan memberi balasan asimetris atas keputusan itu.
Rusia akan mengirim senjata jarak jauh ke wilayah-wilayah di dunia di mana senjata tersebut dapat digunakan untuk menyerang lokasi sensitif negara-negara sponsor utama Ukraina.
Ini artinya, serangan balasan bisa datang dari Yaman, Irak, Suriah, Belarusia, Korea Utara, dan negara-negara teman Rusia lain, ke target pangkalan Amerika, Inggris, Prancis, dan NATO yang terdekat dari negara itu.
Sungguh sulit membayangkan jika ini terjadi. Bukan hanya perang Eropa, tapi akan pecah perang skala dunia.
Semoga planet ini terhindarkan dari malapetaka akbar yang dibayang-bayangi penggunaan senjata nuklir.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg
Presiden Prancis Emanuel Macron
Presiden Prancis Emmanuel Macron
Kanselir Jerman Olaf Scholz
Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen
perang ukraina
parlemen Uni Eropa
Uni Eropa
Slovenia Boikot Perdagangan Senjata dengan Israel, Jadi Negara Uni Eropa Pertama Ambil Langkah Tegas |
![]() |
---|
Keberanian Slovenia Mengembargo Senjata dengan Israel, Jadi Negara Pertama di Uni Eropa |
![]() |
---|
Prancis Kritik Perjanjian Dagang Uni Eropa dengan Donald Trump, PM Bayrou Menyebut Hari yang Suram |
![]() |
---|
Pejabat UE Sukses Bujuk Trump Pangkas Tarif Impor Eropa Jadi 15 persen |
![]() |
---|
10 Negara dengan Pemerintahan Paling Transparan di Dunia, Eropa Mendominasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.