Jumat, 29 Agustus 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menakar Kelayakan Implementasi RPL Profesi Apoteker

Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dipercaya sebagai salah satu metode untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi.

Editor: Hasanudin Aco
Ist
PROFESI APOTEKER - Ilustrasi foto seorang apoteker. Putusan MK MK Nomor 49/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa Pasal 212 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan termasuk soal apoteker disorot. 

Sarjana Farmasi seharusnya menjadi tahap awal dalam proses menuju profesi Apoteker, 
bukan jalur akhir atau dikonversikan menjadi teknisi farmasi.

Dalam masa itu, muncul pameo bahwa Profesi Apoteker adalah TTK yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
 
Konsekuensi dari penyamaan legalitas dua jalur pendidikan yang tidak setara secara substansi ini telah menciptakan ketimpangan kompetensi, overlapping kewenangan, dan ketidakpastian hukum.

Bahkan, lonjakan jumlah program studi S1 farmasi dari sekitar 30-an menjadi lebih dari 300-an pasca terbitnya PP 51/2009 menunjukkan bahwa banyak institusi membuka S1 Farmasi didirikan dengan tujuan utama mencetak TTK, bukan melahirkan calon apoteker.

Kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu yang berdampak negatif pada tingkat penyerapan kerja lulusan S1 Farmasi, mutu pelayanan kefarmasian dan perlindungan masyarakat yang mulai dirasakan saat ini.

Potensi RPL Profesi Apoteker Vs Profesi Gizi

Profesi Apoteker merupakan profesi kesehatan yang telah ada selama lebih dari 1000 tahun, dengan pemisahan resmi dari profesi dokter sejak tahun 1240 oleh Kaisar Frederik II.

Sejak saat itu, apoteker diakui sebagai profesi yang berdiri independen dan memiliki marwah global yang terjaga hingga kini.

Pendidikan profesi apoteker tidak berasal dari jalur vokasi atau berjenjang dari asisten apoteker, melainkan melalui jalur akademik linier berupa Sarjana Farmasi diikuti oleh Pendidikan Profesi Apoteker.

Pendidikan vokasi dalam farmasi sebenarnya bersifat terminal, sesuai kebutuhan dan tidak menjadi jalur transisi ke jenjang profesi.

Sebaliknya, Profesi Gizi di Indonesia berakar dari pendidikan vokasi, dimulai dari Sekolah Ahli Makanan (SAM) tahun 1950 dan berkembang menjadi akademi serta pendidikan vokasi D3 dan D4 Gizi di bawah Kementerian Kesehatan.

Pendidikan sarjana gizi (S.Gz.) berkembang terpisah di bawah Kementerian Pendidikan, dengan IPB sebagai pelopor pada tahun 2005.

Pengakuan formal terhadap profesi gizi, khususnya profesi Dietisien, baru muncul setelah UU No. 36 Tahun 2014, dengan pembukaan program profesi Dietisien pertama pada tahun 2016. Sedangkan untuk pendidikan profesi Nutritionis masih dalam tahap penyusunan naskah akademik pembukaan program studi profesi.

Dengan latar belakang historis dan sistem pendidikan yang berbeda, maka karakteristik pengembangan profesi apoteker dan profesi gizi juga berbeda.

Profesi gizi secara struktur lebih membuka peluang RPL karena memiliki jalur berjenjang dari vokasi ke profesi.

Sementara itu, sistem pendidikan farmasi dirancang linier akademik menuju profesi dan tidak membuka jalur RPL dari pendidikan vokasi, guna menjaga mutu dan keselamatan pasien dalam praktik kefarmasian.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan