Tribunners / Citizen Journalism
Jangan Tunggu Anak Bisa Ngomong Sendiri: Deteksi Dini Speech Delay Itu Penting
Keterlambatan bicara bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Itu bagai sinyal bahwa si kecil membutuhkan pendampingan dengan perhatian dan empati.
Editor:
Sri Juliati
Oleh: Zahrah Wafiq Azizah
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Pernahkah ibu dan ayah merasa cemas saat anak lain sudah berbicara dengan lancar, sedangkan si kecil tak mengucapkan satu kata pun? Padahal, masa mereka sama.
Banyak orang tua memilih bungkam bukan karena tak peduli, tetapi karena takut dianggap abai orang sekitar.
Padahal, keterlambatan bicara bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Itu bagai sinyal bagi Anda bahwa si kecil membutuhkan pendampingan dengan perhatian dan empati.
Sayangnya, masih banyak yang berpikir, "Ya sudah, nanti kan juga bisa ngomong."
Yuk, pahami lebih lanjut mengapa keterlambatan bicara perlu ditangani sejak dini.
Menurut American Speech-Language-Hearing Association (ASHA), speech delay adalah kondisi ketika anak menunjukkan perkembangan severability berbicara yang lebih lambat dari anak seusianya, tanpa disertai oleh adanya gangguan neurologis atau sensorik yang jelas.
Bisa menyebabkan keterlambatan dalam produksi suara, kosakata, atau struktur kalimat.
Dengan ciri yang lebih spesifik seperti berikut:
- Usia 12 bulan: belum mulai mengoceh atau meniru suara.
- Usia 18 bulan: hanya mengucapkan sedikit kata (kurang dari 10 kata), tidak merespons dengan kata atau suara ketika diajak bicara.
- Usia 2 tahun: belum bisa menggabungkan dua kata menjadi frasa, seperti “mau susu”.
- Kurangnya variasi suara dan ekspresi wajah, yang seharusnya sudah terlihat sejak usia dini.
- Kesulitan meniru suara atau kata yang didengar dari orang lain.
ASHA juga menekankan, jika seorang anak tampak memahami bahasa, tetapi tidak mampu mengekspresikannya, maka itu bisa menjadi tanda speech delay.
Secara medis, risiko keterlambatan bicara bisa muncul jika anak mengalami kekurangan oksigen saat lahir, yang dapat diakibatkan oleh asfiksia, kejang berulang, atau kelainan pada mulut dan tenggorokan, seperti celah palatina.
Baca juga: Anak Speech Delay Belum Tentu Idap Autisme, Ketahui Perbedaannya
Namun, faktor keluarga utamanya juga memegang peranan, seperti pendidikan orang tua yang rendah, riwayat genetik, tumbuh dalam lingkungan multibahasa, dan kurangnya stimulasi dari lingkungan sekitar.
Dr. Bruce Tomblin, seorang pakar bahasa anak mengatakan, speech delay bukan hanya keterlambatan sementara, tapi juga bisa menandakan gangguan komunikasi jangka panjang jika tidak ditangani sejak dini.
Berdasarkan Laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2020, diperkirakan sekitar 16 persen balita di Indonesia mengalami gangguan perkembangan termasuk keterlambatan bicara.
Berdasarkan data yang ditemukan pada sebagian besar kasus RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo 2022 dari Januari hingga Desember 2022, prevalensi gejala speech delay pada anak usia 2–5 tahun berkisar antara 5–10 persen di Indonesia pada umumnya.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Cara agar Anak Terbiasa dan Menerima Makanan Bergizi, Bisa Diterapkan Orang Tua di Rumah |
![]() |
---|
KPK Telusuri Dugaan Aliran Dana ke Pejabat Lain Kemenkes di Kasus Suap RSUD Kolaka Timur |
![]() |
---|
Kematian Akibat DBD Banyak Terjadi pada Anak-anak dan Remaja Usia 5 Hingga 14 Tahun |
![]() |
---|
Ini Daftar 10 Provinsi dengan Kasus Chikungunya Terbanyak di Indonesia |
![]() |
---|
Data Kemenkes: 5 Provinsi dengan Kasus Leptospirosis Tertinggi, Jateng Nomor Satu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.