Tribunners / Citizen Journalism
Jangan Tunggu Anak Bisa Ngomong Sendiri: Deteksi Dini Speech Delay Itu Penting
Keterlambatan bicara bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Itu bagai sinyal bahwa si kecil membutuhkan pendampingan dengan perhatian dan empati.
Editor:
Sri Juliati
Dari sudut pandang global, Studi NCBI 2018–2022 mencatat peningkatan diagnosis pertama speech delay dengan angka diagnosa berubah dari 15.063 pada 2018 hingga 20.080 pada 2022, yang menunjukkan peningkatan sebesar 22 persen selama periode tersebut.
Diagnosis speech disorder pada kelompok usia 0–2 tahun naik +136 persen dan kelompok usia 3-5 tahun naik +107 persen tahun demi tahun pasca-pandemi.
Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa prevalensi speech delay di Indonesia berkisar 5–16 persen, tergantung studi dan kriteria diagnosis yang digunakan, dan seluruh tren global saat ini adalah peningkatan diagnosis speech delay, khususnya setelah pandemi COVID-19.
Salah satu contoh nyata adalah seorang anak yang mengalami keterlambatan bicara dan memiliki riwayat kejang parah yang bisa berlangsung hingga 15 menit, sampai membuat bibirnya membiru.
Ia sempat beberapa kali dirawat inap. Di rumah, anak ini juga terbiasa menonton televisi dalam waktu lama, yang membuatnya minim interaksi verbal.
Setelah dibawa ke terapis wicara, hasil evaluasi menunjukkan bahwa kemampuan bicaranya sebenarnya ada, tetapi ia cenderung enggan berusaha berbicara karena merasa sudah cukup dimengerti.
Terapis menyarankan agar orang tua tidak langsung memberi pujian jika anak hanya mengucapkan satu atau dua kata, agar anak termotivasi untuk berbicara lebih aktif dan lengkap.
Maka, orang tua harus berhati-hati dan waspada jika melihat anaknya berbicara terlambat. Jangan menunggu anak "bisa sendiri".
Penanganan yang terlambat justru bisa berdampak negatif pada perkembangan sosial dan emosional anak.
Terapi wicara bukanlah bentuk kepanikan, melainkan langkah bijak demi tumbuh kembang anak yang optimal.
Masih banyak orang tua yang percaya bahwa anak yang telat bicara akan menyusul dengan sendirinya.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa intervensi dini sangat krusial.
Anak yang mulai diterapi sejak usia dini punya peluang lebih besar untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan anak yang baru mendapat bantuan setelah masuk sekolah.
Lingkungan yang tidak mendukung, seperti terlalu sering menonton TV dan minim percakapan, juga bisa memperburuk kondisi ini.
Setiap anak memang tumbuh dengan kecepatan yang berbeda. Namun, itu bukan alasan untuk berdiam diri.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Cara agar Anak Terbiasa dan Menerima Makanan Bergizi, Bisa Diterapkan Orang Tua di Rumah |
![]() |
---|
KPK Telusuri Dugaan Aliran Dana ke Pejabat Lain Kemenkes di Kasus Suap RSUD Kolaka Timur |
![]() |
---|
Kematian Akibat DBD Banyak Terjadi pada Anak-anak dan Remaja Usia 5 Hingga 14 Tahun |
![]() |
---|
Ini Daftar 10 Provinsi dengan Kasus Chikungunya Terbanyak di Indonesia |
![]() |
---|
Data Kemenkes: 5 Provinsi dengan Kasus Leptospirosis Tertinggi, Jateng Nomor Satu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.