Tribunners / Citizen Journalism
Awas, Serangan Balik DPR ke MK!
UU MK yang baru itu nanti akan lebih banyak melemahkan posisi Hakim Konstitusi.
Editor:
Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
TRIBUNNEWS.COM - Maka hanya ada satu kata: lawan!
Kredo yang dimunculkan penyair Widji Thukul (1963-1997) dalam puisinya, "Peringatan" (1996) ini sepertinya menginspirasi para anggota DPR untuk melakukan perlawanan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada 26 Juni lalu melancarkan pukulan telak ke Senayan.
Awas, DPR melancarkan serangan balik ke MK!
Adalah Wakil Ketua DPR Adies Kadir yang menyatakan, revisi Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2020 tentang MK kini tinggal disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
UU MK yang baru itu nanti akan lebih banyak melemahkan posisi Hakim Konstitusi.
Mereka akan lebih banyak bergantung dan tunduk kepada DPR.
Sebenarnya, sudah setahun lebih amunisi itu disiapkan.
Namun DPR sepertinya menunggu momentum yang tepat. Yakni, ketika MK makin "kurang ajar".
Maka ketika MK mengetok Putusan 135/2024 pada 26 Juni lalu, DPR langsung meradang. Ihwal revisi UU MK yang tinggal disahkan pun dimaklumatkan.
Putusan MK 135/2025 itu sendiri memisahkan pemilu nasional dengan pemilu lokal.
Pemilu nasional untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR RI dan DPD RI dibersamakan.
Baru setelah 2-2,5 tahun kemudian digelar pemilu lokal yang meliputi pemilihan kepala daerah atau pilkada (bupati/walikota/gubernur) dan pemilihan anggota DPRD (kabupaten/kota/provinsi) yang juga dibersamakan.
Ada banyak alasan mengapa DPR menolak Putusan MK 135/2024, mulai dari emosional hingga konstitusional.
Yang emosional: sebagai negative legislator, MK melampaui wewenang konstitusionalnya dengan membentuk norma baru.
Padahal tugas itu merupakan ranah DPR dan Presiden yang merupakan positive legislator.
Yang juga emosional: MK banyak menganulir produk undang-undang yang dihasilkan DPR.
Contohnya, Aswanto.
Dia dicopot dari jabatan Hakim Konstitusi dan digantikan Guntur Hamzah, Sekretaris Jenderal MK saat itu, gegara sering menganulir undang-undang.
Ada tiga lembaga pengusul Hakim Konstitusi. Yakni DPR, Mahkamah Agung (MA) dan Presiden.
Baca juga: DPR Ramai-ramai Cecar Sekjen MK soal Putusan Pemilu Terpisah: Tolong Lebih Bijak
Maka ketika ada Hakim Konstitusi yang diusulkan DPR menganulir produk DPR, artinya sama saja dengan anak durhaka alias si Malin Kundang.
Yang konstitusional: Putusan MK 135/2024 melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan pemilu digelar 5 tahun sekali; dan Pasal 18B UUD 1945, karena MK memasukkan pilkada ke dalam rezim pemilu.
Tapi alasan sesungguhnya adalah: Putusan MK 135/2024 merugikan para anggota DPR.
Misalnya, caleg DPR RI tak bisa berkolaborasi dengan caleg DPRD dalam kampanye pemilu, baik dalam biaya maupun tenaga, karena jadwal pemungutan suaranya berbeda.
Alasan sesungguhnya lainnya: Putusan MK 135/2024 akan merepotkan DPR karena implikasinya harus merevisi UU Pemilu, UU Pilkada, UU Pemda dan sebagainya.
Bandingkan dengan sikap DPR terhadap Putusan MK 90/2023 yang memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka yang saat itu baru berusia 36 tahun untuk maju sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2024.
Padahal, putusan kontroversial itu diwarnai pelanggaran etika oleh Anwar Usman, paman Gibran yang saat itu menjabat Ketua MK. Namun DPR diam saja, bahkan melaksanakan putusan yang cacat etik itu.
Kini, serangan balik pun sedang dipersiapkan DPR, yakni dengan disahkannya UU MK hasil revisi yang sudah disetujui di tingkat I. Rapat Paripurna nanti adalah keputusan di tingkat II.
Ada sejumlah poin krusial dalam revisi UU MK itu yang akan melemahkan posisi Hakim Konstitusi. Sebut saja misalnya terkait pemberhentian Hakim Konstitusi.
Dikutip dari berbagai sumber, dalam draf revisi UU MK, dihapuslah poin d Pasal 23 mengenai aturan pemberhentian Hakim Konstitusi.
Awalnya dalam perubahan ketiga, poin tersebut menyebutkan Hakim Konstitusi bisa diberhentikan jika habis masa jabatannya. Pada draf revisi UU MK terbaru, pemberhentian Hakim Konstitusi karena masa jabatan sudah habis dihapus.
Dengan demikian, bunyi Pasal 23 dalam draf revisi UU MK terbaru sebagai berikut:
"Hakim Konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan, meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri, telah berusia 70 tahun, dan atau mengalami sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama tiga bulan."
Revisi UU MK juga mengatur Hakim Konstitusi bisa langsung diberhentikan dengan tidak hormat, jika mengalami kasus dan dijatuhi pidana tanpa mencantumkan ancaman berapa tahun pidananya.
Lalu, soal evaluasi Hakim Konstitusi. Naskah terbaru revisi UU MK juga mengatur soal evaluasi Hakim Konstitusi. Hal itu tertuang pada pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 23 dan Pasal 24. Pasal ini adalah Pasal 23A.
Ayat (1) Pasal 23A menyebutkan masa jabatan Hakim Konstitusi selama 10 tahun.
Adapun ayat 2 Pasal 23A berbunyi, "Hakim Konstitusi setelah 5 tahun menjabat wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan atau tidak mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya."
Ayat (3) Pasal 23A berbunyi, "Hakim Konstitusi dapat melanjutkan jabatannya 10 tahun dengan ketentuan, di antaranya belum berusia 70 tahun dan mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul."
Ayat (4) Pasal 23A berbunyi, "Dalam hal lembaga pengusul yang berwenang tidak memberikan persetujuan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan untuk melanjutkan jabatannya, lembaga pengusul yang berwenang mengajukan calon Hakim Konstitusi baru sesuai dengan ketentuan Pasal 18 sampai Pasal 21."
Pasal-pasal itulah yang akan melemahkan posisi Hakim Konstitusi. Mereka akan lebih bergantung dan tunduk kepada lembaga pengusul, dalam hal ini DPR.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.