Tribunners / Citizen Journalism
Objektivitas Hukum di Antara Pusaran Media, Netizen, dan Kuasa
Beberapa tahun terakhir ini, kita menghadapi kerusakan serius atas objektivitas itu. Kerusakan itu datang bukan semata-mata dari pelaku kejahatan.
Editor:
Sri Juliati
Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Objektivitas adalah ruh dari hukum. Tanpa objektivitas, maka hukum dapat berubah menjadi alat kekuasaan, panggung opini, atau sekadar pelengkap tontonan publik.
Beberapa tahun terakhir ini, disadari maupun tidak, kita menghadapi kerusakan serius atas objektivitas itu. Kerusakan itu datang bukan semata-mata dari pelaku kejahatan. Kerusakan itu datang juga dari tiga kekuatan besar di luar pengadilan yakni media, netizen, dan penguasa.
Ketiganya mewujud dalam bentuk yang tampaknya berbeda tetapi bersatu dalam akibat. Ketiganya membajak proses hukum yang sah dan menggantikannya dengan penghakiman di luar sistem.
Trial by Press
Pertama adalah trial by press. Trial by press terjadi ketika media massa—baik cetak, TV, atau daring— bertindak seolah-olah mengambil alih peran hakim.
Mereka menyusun narasi yang dengan tanpa sadar menempatkan siapa yang jahat dan siapa yang benar. Penempatan itu terjadi bahkan sebelum polisi merilis, jaksa bicara atau hakim menggelar persidangan.
Trial by press sering memakai teknik framing. Teknik untuk memilih angle tertentu, mengulang narasi tertentu, dan mengekspos permasalahan dari satu sisi saja.
Teknik itu dapat menciptakan persepsi bukan fakta. Dan dalam sistem hukum, persepsi yang salah bisa menggiring pada putusan yang salah.
Media tidak dapat dipungkiri punya kekuatan besar untuk menggiring opini publik. Tapi ketika kekuatan itu tidak disertai tanggung jawab etik, media dapat berubah jadi alat penghakiman. Sebab yang dicari bukan kebenaran melainkan sensasi.
Di Italia, seorang wanita bernama Amanda Knox pernah mengalami hal ini. Dia dituduh membunuh teman sekamarnya, Meredith Kercher.
Media Eropa, terutama Inggris dan Italia, menyajikan narasi bahwa Knox itu hiper-seksual dan membentuk kesan moral bahwa Knox adalah orang yang jahat. Dampak yang terjadi kemudian adalah publik membenci Knox.
Belakangan ternyata Knox tak terbukti bersalah dan dibebaskan. Semua tuduhan yang dialamatkan padanya tidaklah benar. Namun, stigma pada Knox sudah terlanjur melekat dan reputasinya bisa dikatakan telah hancur di mata masyarakat.
Baca juga: Pakar Hukum Nilai Pemberian Amnesti ke Hasto Bagian dari Politik Prabowo
Trial by Netizen
Trial by netizen adalah wajah lain dari penghakiman sosial. Ia lebih liar, lebih cepat, dan lebih membabi buta.
Di ruang maya semua orang bebas berlaku laiknya hakim. Bukti seolah tak penting. Yang penting adalah viral. Konteks juga tak terlalu diperhatikan, asal ramai.
Kekuatan media sosial seperti X (Twitter), TikTok, dan Instagram telah mengubah siapa yang bisa mempengaruhi narasi. Satu video berdurasi 10 detik bisa memusnahkan reputasi seseorang. Satu utas tanpa konfirmasi bisa menggerakkan ribuan orang untuk "menghakimi".
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Talkshow Kacamata Hukum 15 September 2025: Buronan Dapat SKCK Jadi Anggota Dewan |
![]() |
---|
Kementerian Hukum Usulkan Tambahan Anggaran Rp 419,8 Miliar |
![]() |
---|
Dokumen Perang Eropa 2026 Bocor: Prancis Disebut-sebut Siapkan Perang dengan Rusia Maret 2026 |
![]() |
---|
RUU Perampasan Aset dan KUHAP Bakal Digarap Paralel, Komisi III DPR: Demi Cegah Abuse of Power |
![]() |
---|
Era Baru Advokat Dimulai, Peradi SAI Fokus Etika dan Pendidikan Berkelanjutan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.