Tribunners / Citizen Journalism
Objektivitas Hukum di Antara Pusaran Media, Netizen, dan Kuasa
Beberapa tahun terakhir ini, kita menghadapi kerusakan serius atas objektivitas itu. Kerusakan itu datang bukan semata-mata dari pelaku kejahatan.
Editor:
Sri Juliati
Dalam kasus salah tangkap atau pencemaran nama baik, netizen sering menanggalkan mekanisme koreksi. Mereka cenderung sekedar memuaskan hasrat untuk menghakimi lalu pergi. Tidak ada pertanggungjawaban moral dan tidak ada permintaan maaf.
Netizen juga kerap tidak punya waktu menunggu proses hukum. Mereka ingin keadilan instan. Padahal keadilan sejati butuh kehati-hatian, pemeriksaan secara mendalam, dan logika hukum yang tepat. Di tangan netizen, keadilan adalah sekedar permainan emosi.
Salah satu kasus penghakiman netizen yang paling fenomenal adalah kasus Caroline Flack, seorang presenter terkenal dari Inggris.
Pada Desember 2019, Caroline ditangkap karena dituduh menyerang pacarnya Lewis Burton di rumahnya di London. Meski pada saat itu kasus tersebut belum masuk persidangan dan belum dibuktikan di pengadilan, media sosial telah terlanjur meledak.
Ribuan komentar bernada kebencian membanjiri akun Caroline. Ia dicap pelaku kekerasan, digambarkan sebagai sosok berbahaya, dan diminta mundur dari dunia hiburan.
Pada 15 Februari 2020, hanya beberapa minggu sebelum sidang pertamanya, Caroline ditemukan tewas bunuh diri di apartemennya di London. Dalam catatan yang ditinggalkannya, ia menulis bahwa dirinya merasa dunia telah "membuat narasi yang jahat terhadapnya" dan ia "tak sanggup lagi menahan tekanan".
Kematian tragis Caroline mengguncang publik Inggris dan memicu diskusi nasional tentang etika media, tanggung jawab terhadap penggunaan platform digital, serta brutalitas trial by netizen. Kampanye bertagar #BeKind bermunculan di mana-mana sebagai seruan agar publik lebih manusiawi.
Trial by Power
Yang paling sunyi, tapi tak kalah mematikan adalah trial by power. Pengadilan seolah berjalan, jaksa seolah bekerja, tapi semua adalah drama.
Skenario setiap laku dan geraknya telah diarahkan oleh kekuasaan. Penundaan perkara, pembuatan pasal karet, hingga rekayasa bukti adalah contoh dari proses hukum yang telah dimanipulasi dari balik meja kekuasaan.
Trial by power bekerja dengan cara halus tapi sistematis. Ia menjadikan hukum sebagai senjata politik. Aparat penegak hukum bukan lagi pelayan keadilan tetapi bagian dari operator kekuasaan. Di sinilah objektivitas hukum mati pelan-pelan.
Di luar negeri, mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menjadi contoh ekstrem. Melalui program unggulannya yang diberi nama "war on drugs", konon ribuan orang tewas tanpa proses hukum.
Aparat sekedar menjalankan perintah, yang mana perintah tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum. Pengadilan diam. Hukum diseret untuk melegitimasi kekerasan.
Selain di Filipina, di Rusia juga terdapat kisah tentang Alexei Navalny. Kisahnya bahkan dapat dikatakan lebih tragis dari sekedar penghukuman tanpa pengadilan.
Navalny dipenjara berulang kali atas tuduhan fiktif. Tak ada satu pun proses hukum yang dilakukan secara objektif dan independen atas kasus yang dialaminya. Hakim, dapat diibaratkan, hanyalah operator Kremlin.
Di Myanmar, setelah kudeta militer 2021, para pemimpin sipil seperti Aung San Suu Kyi dijatuhi vonis dalam persidangan yang digelar tertutup.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Talkshow Kacamata Hukum 15 September 2025: Buronan Dapat SKCK Jadi Anggota Dewan |
![]() |
---|
Kementerian Hukum Usulkan Tambahan Anggaran Rp 419,8 Miliar |
![]() |
---|
Dokumen Perang Eropa 2026 Bocor: Prancis Disebut-sebut Siapkan Perang dengan Rusia Maret 2026 |
![]() |
---|
RUU Perampasan Aset dan KUHAP Bakal Digarap Paralel, Komisi III DPR: Demi Cegah Abuse of Power |
![]() |
---|
Era Baru Advokat Dimulai, Peradi SAI Fokus Etika dan Pendidikan Berkelanjutan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.