Tribunners / Citizen Journalism
Setahun Pemerintahan Prabowo dan Tantangan Kepemimpinan yang Humanistik
Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi momentum penting dalam perjalanan politik dan manajerial bangsa Indonesia.
Dalam konteks pemerintahan, ini berarti setiap kebijakan publik harus mengutamakan kesejahteraan manusia di atas kepentingan politik jangka pendek.
Baca juga: Pemerintahan Prabowo Lanjutkan Pembangunan Jalan Trans Papua
Kedua, etika digital berfungsi sebagai pagar moral bagi inovasi teknologi. Pemerintah yang memanfaatkan big data, kecerdasan buatan, atau pengawasan digital wajib menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan privasi warga.
Tanpa etika, digitalisasi bisa berubah menjadi bentuk baru otoritarianisme berbasis data—di mana rakyat dipantau tanpa ruang privasi dan keputusan diambil tanpa dialog moral.
Ketiga, budaya humanistik dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi fondasi penting. Birokrasi yang sehat bukan hanya yang cepat dan efisien, tetapi yang menghormati martabat pegawainya dan melayani masyarakat dengan empati.
Di sinilah kepemimpinan humanistik diuji: apakah struktur pemerintahan mampu menciptakan lingkungan kerja yang berkeadaban, atau justru terjebak dalam mekanisme mekanistik yang menekan dimensi manusiawi?
Dari sudut filsafat ilmu, paradigma kepemimpinan humanistik dapat dipahami melalui tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Secara ontologis, manusia dalam konteks pemerintahan digital bukan sekadar sumber daya pembangunan, tetapi subjek moral yang memiliki martabat.
Negara, karena itu, harus memperlakukan rakyat bukan sebagai instrumen kebijakan, melainkan sebagai tujuan akhir kebijakan itu sendiri.
Secara epistemologis, kebijakan publik yang efektif tidak hanya lahir dari data dan algoritma, tetapi juga dari kebijaksanaan yang bersumber pada pengalaman, empati, dan dialog sosial.
Pemerintah yang hanya mengandalkan data besar (big data) tanpa big wisdom akan kehilangan arah moral dalam pengambilan keputusan. Sementara secara aksiologis, tujuan dari kepemimpinan nasional adalah kebaikan bersama (common good).
Dalam konteks Prabowo, visi besar tentang kedaulatan pangan, pertahanan nasional, dan kemandirian ekonomi harus tetap berakar pada nilai kemanusiaan: bagaimana kebijakan itu benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memperkuat struktur kekuasaan.
Setahun Refleksi: Dari Efisiensi ke Empati
Setahun pemerintahan Prabowo adalah momentum refleksi untuk menilai apakah arah kepemimpinannya telah bergerak dari efisiensi ke empati. Dalam berbagai pidato, Presiden kerap menekankan pentingnya disiplin, loyalitas, dan nasionalisme.
Nilai-nilai itu memang menjadi pilar penting kepemimpinan strategis. Namun dalam konteks manajemen humanistik, diperlukan tambahan dimensi: empati moral.
Empati bukan kelemahan dalam kepemimpinan, melainkan bentuk tertinggi dari kekuatan moral. Ia menjadi jembatan antara kekuasaan dan kemanusiaan, antara kebijakan dan hati rakyat.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
| Pimpinan Komisi X DPR Setuju Sekolah Ajarkan Bahasa Portugis, Tapi Perlu Pertimbangan Serius |
|
|---|
| Indonesia-Brasil Teken MoU, Perkuat Kerja Sama Sektor ESDM |
|
|---|
| Direktur Eksekutif IPO: Gibran Rakabuming Raka Jadi Beban Politis bagi Prabowo Subianto |
|
|---|
| Respons Cak Imin Soal Presiden Prabowo Setuju Pembentukan Ditjen Pesantren di Kemenag |
|
|---|
| 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, CELIOS Sebut 3 Hal Harus Jadi Evaluasi |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.