Jumat, 31 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menjaga Industri Digital Indonesia: Aspirasi Driver Ojol dalam Bingkai Kebijakan

Mayoritas driver pilih komisi 20% asal order stabil. Survei: kesejahteraan ditentukan ekosistem, bukan potongan.

Editor: Glery Lazuardi
Kemenkeu
PITER ABDULLAH REDJALAM - Driver ojek online tetap pilih komisi tinggi asal order lancar dan insentif jelas, hasil dua survei nasional. 

Piter Abdullah Redjalam, Ekonom Senior Prasasti

  • Piter Abdullah Redjalam lahir di Lahat pada tahun 1963, meraih gelar Doktor bidang Ekonomi dari Universitas Indonesia pada tahun 2010, gelar Magister of Arts in Developmental Economics dari International University of Japan (2000), dan gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (1993).
  • Saat ini, selain aktif sebagai Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI)  periode 2023-2028, Piter Abdullah Redjalam juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Segara Research Institute (2022 – sekarang) dan sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Indonesia Tanah Pusaka (2015 – sekarang).
  • Sebelum mendirikan Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam juga menjabat sebagai Direktur Riset di CORE Indonesia (2017-2022) dan menjadi Penasihat Riset untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Indonesia (2018-2019). 
  • Sebelum itu, Piter Abdullah Redjalam pernah menjabat sebagai anggota Pokja Makroekonomi Komite Ekonomi dan Industri Nasional atau KEIN (2017-2019).

TRIBUNNEWS.COM - Industri digital Indonesia kini menjadi penopang utama perekonomian nasional.

Proyeksi pemerintah menyebutkan lima tahun ke depan nilai ekonomi digital akan tumbuh empat kali lipat, mencapai USD 210–360 miliar atau sekitar Rp5.800 triliun.

Faktor pendorongnya kuat: populasi besar, penetrasi internet yang masif, dukungan regulasi, serta lahirnya startup lokal yang bahkan sudah berstatus unicorn. 

Penelitian Prasasti menunjukkan bahwa sektor digital lebih efisien dibanding sektor lain karena memiliki Incremental Capital Output Ratio (ICOR) lebih rendah—artinya setiap rupiah yang diinvestasikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi lebih besar dibanding sektor tradisional.

Salah satu tulang punggung ekonomi digital adalah layanan on-demand: ojek online, taksi online, dan kurir online. 

Ekosistem ini bukan hanya menyambungkan pengemudi dengan konsumen, melainkan juga jutaan UMKM. Pada 2023, kontribusi ride hailing terhadap PDB mencapai Rp382,62 triliun (2 persen PDB), sekaligus menyerap tenaga kerja di tengah badai PHK manufaktur.

Seiring tumbuhnya sektor ini, polemik soal besaran komisi aplikator terhadap driver kian mencuat. Pemerintah telah menetapkan batas maksimum komisi 20%, dengan kewajiban 5% dialokasikan untuk program kesejahteraan driver. 

Namun, di tengah pertumbuhan pesat sektor ini, masih muncul protes dari sebagian driver yang menyoroti besaran komisi.

Bagi mereka, kebijakan aplikator dinilai belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan pengemudi. Polemik ini penting dicermati, karena hanya dengan memahami aspirasi dan pengalaman para driver aktif, kita bisa menilai apakah isu yang kerap muncul di ruang publik tersebut benar mencerminkan kondisi riil.

Hasil Survei

Klaim yang disampaikan sebagian pihak adalah bahwa sistem komisi yang diterapkan oleh aplikator bersifat mengeksploitasi driver.  Apakah memang demikian?

Untuk menjawabnya, penting memahami aspirasi dari para driver aktif secara langsung. Penulis bersyukur bisa mendapatkan hasil dari dua survei terbaru yang diselenggarakan oleh Lembaga terpercaya yaitu Tenggara Strategics dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI). Kedua survey ini dilakukan terhadap para driver aktif dan hasilnya memberikan gambaran yang menarik.

Survey yang pertama adalah survey yang dilakukan oleh Tenggara Strategics. Survey ini dilakukan pada September 2025 yang lalu terhadap 1.052 driver aktif di Jabodetabek.

Hasilnya menunjukkan bahwa 82% driver lebih memilih potongan komisi 20% tetapi orderan tinggi, ketimbang potongan 10% orderan sepi. 

Masih terkait potongan komisi, hasil survey juga menunjukkan bahwa dari sejumlah driver yang pernah mencoba platform dengan potongan 10%, 85% mengatakan penghasilan sama saja atau bahkan lebih rendah. 

Sementara itu terkait status hubungan aplikator dan driver, hasil survey menunjukkan mayoritas driver (85%) tidak keberatan dengan status “mitra”.

Bagi mereka fleksibilitas jam kerja merupakan hal yang utama. Mereka juga memahami bahwa status pekerja justru bisa merugikan bagi driver. 

Secara umum hasil survey Tenggara Strategics menyimpulkan bahwa bagi driver di wilayah metropolitan, kepastian order dan perlindungan tambahan lebih penting daripada sekadar besaran potongan.

Hasil survey juga menunjukkan bahwa potongan rendah tanpa jaminan order tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan.

Survey Paramadina ternyata memberikan hasil yang sejalan dengan survey Tenggara Strategic. Survey Paramadina dilakukan di 6 kota besar dengan sampel 1.623 responden. Hasilnya, 60,8% responden (driver) juga memilih potongan 20?ngan insentif dan promo (yang berarti orderan lebih terjamin tinggi) dibandingkan potongan 10% tanpa insentif yg bisa berarti orderan sepi. 

Survey Paramadina juga mengungkap bahwa 81% responden lebih mengutamakan stabilitas pendapatan harian dibandingkan margin per order. Mereka juga memahami bahwa potongan 20% yang dikenakan oleh aplikator akan kembali ke mereka dalam bentuk promo di luar biaya aplikasi. Mereka juga mendapatkan insentif lainnya seperti diskon servis, paket data atau bahkan sembako. Bagi mereka promo ke pelanggan sangat penting untuk menjaga kontinuitas orderan, terutama bagi driver yang full time (>8 jam per hari). 

Temuan survey Paramadina, menegaskan bahwa bagi mayoritas driver, komisi bukanlah isu utama. Yang lebih penting adalah bagaimana aplikator memastikan stabilitas penghasilan harian melalui promo pelanggan, insentif, dan dukungan fasilitas lain. Promo dan insentif dipandang krusial untuk menjaga kesinambungan order. 

Survey Paramadina juga mengungkap masih adanya kelompok driver yang belum sepenuhnya memahami bagaimana komisi dialokasikan. Inilah yang sesungguhnya memunculkan narasi yang tidak berimbang tentang aplikator mengeksploitasi driver. 

Isu Utama

Dari hasil survey Tenggara Strategic dan Paramadina dapat disimpulkan bahwa isu utamanya bukan sekadar angka potongan komisi, melainkan bagaimana komisi itu dikelola dan dikembalikan dalam bentuk manfaat nyata. Dengan kata lain, keadilan dalam ekosistem ride hailing terletak pada kualitas ekosistem, bukan sekadar persentase.

Di sisi lain, dapat dipahami aplikator juga menghadapi tekanan tersendiri yaitu biaya teknologi dan operasional yang tinggi, persaingan agresif antar platform, serta ekspektasi konsumen akan harga terjangkau. Keberlanjutan model bisnis mereka bergantung pada keseimbangan antara investasi untuk inovasi, subsidi untuk pertumbuhan, dan profitabilitas jangka panjang.

Di tengah dinamika ini, peran regulasi pemerintah memang penting untuk menjaga keseimbangan antara aplikator, driver, dan konsumen. Namun, ada risiko ketika aturan dibuat terlalu kaku atau berlebihan. Jika negara terlalu jauh masuk mengatur besaran komisi atau detail model usaha, ruang inovasi bisa terhambat. Padahal, fleksibilitas sangat dibutuhkan untuk merespons perubahan pasar digital yang cepat.

Aturan yang berlebihan juga bisa berdampak sebaliknya bagi driver maupun konsumen. Tanpa ruang bagi aplikator untuk berinvestasi dalam teknologi, promo, maupun insentif, ekosistem transportasi daring bisa kehilangan daya saing dan justru menurunkan kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya. Karena itu, regulasi sebaiknya menjadi pagar pengaman yang menjamin keadilan dan perlindungan, bukan belenggu yang menghambat pertumbuhan.

Penutup

Industri digital Indonesia adalah pilar ekonomi masa depan. Ride hailing, dengan kontribusinya terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, tidak bisa dilepaskan dari keberhasilannya memberikan bantalan dan akses pendapatan kepada jutaan mitra driver.

Dua survei-survei terbaru justru menegaskan satu pesan bahwa driver tidak sekadar menuntut potongan rendah, melainkan ekosistem yang stabil, adil, dan transparan. Mereka rela berbagi 20% selama aplikator memberi order yang stabil, promo yang efektif, dan perlindungan yang nyata.

Di sinilah titik temu bisa dibangun: aplikator menjaga transparansi dan manfaat, pemerintah mengawal regulasi yang adil, dan driver memahami posisi mereka sebagai mitra mandiri. Jika jalan tengah ini dijalankan, industri digital Indonesia bukan hanya tumbuh besar, tapi juga berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan. Saatnya tiga pihak, aplikator, pemerintah, dan asosiasi driver, duduk bersama untuk merancang blueprint keberlanjutan ekosistem digital. Bukan dialog reaktif saat konflik muncul, tapi dialog proaktif untuk membangun standar industri yang berkelanjutan.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved