Tribunners / Citizen Journalism
Antara Stabilitas Koersif dan Supremasi Sipil, Pertahanan Rakyat sebagai Titik Temu
Negara di persimpangan: stabilitas koersif atau keadilan sipil? Pertahanan rakyat jadi arah baru kekuatan berbasis kesadaran.
Namun di sisi lain terdapat jalan yang berbeda, yaitu jalan supremasi sipil. Di sini negara dipahami bukan sebagai mesin penertib, melainkan sebagai ruang deliberatif yang mengorganisir kehidupan bersama melalui hukum dan akuntabilitas.
Supremasi sipil menuntut kedewasaan politik, sebab ia bekerja melalui proses. Ia lamban di awal, tetapi berakar pada legitimasi. Ia mengizinkan kritik karena sadar bahwa kritik adalah cara paling jujur untuk memperkuat struktur kekuasaan.
Kedua logika ini kini hidup berdampingan di tubuh negara. Yang satu mengandalkan kecepatan, yang lain menekankan transparansi. Yang satu mengejar keteraturan segera, yang lain mengupayakan ketepatan arah.
Hasilnya sering paradoksal: negara terlihat tegas di permukaan namun rapuh di dalam, stabil di pusat kekuasaan tetapi gelisah di lapisan rakyat.
Ketika stabilitas koersif dan supremasi sipil belum menemukan keseimbangannya, kebijakan negara berjalan di atas garis yang rapuh antara keteraturan administratif dan ketidakpuasan sosial.
Dalam sejarah bangsa-bangsa, dilema semacam ini selalu muncul di masa transisi menuju kematangan nasional.
Negara yang memilih ketertiban semata memperoleh ketenangan singkat tetapi kehilangan vitalitas.
Sebaliknya, negara yang menempuh keadilan, meski harus menanggung guncangan, pada akhirnya akan menemukan stabilitas yang lebih kokoh.
Ketertiban yang dibangun tanpa keadilan hanya akan menciptakan ketegangan tanpa suara, sementara keadilan yang ditegakkan dengan konsistensi akan melahirkan keteraturan yang lestari.
Bahasa kekuasaan adalah medan ideologi. Setiap istilah yang diucapkan penguasa mengandung arah kebijakan. Maka ketika stabilitas dijadikan mantra, pertanyaan mendasarnya bukan hanya bagaimana, tetapi untuk siapa.
Apakah ketenangan sosial yang dijanjikan merupakan hasil pemerataan atau hasil pengendalian. Dalam supremasi sipil, stabilitas tidak dihapus, tetapi ditempatkan kembali di bawah keadilan.
Sebab stabilitas sejati adalah buah dari keadilan yang bekerja. Negara yang benar-benar kuat tidak perlu menenangkan rakyat dengan larangan yang terlampau banyak.
Namun bangsa ini tak bisa terus berada di persimpangan. Ia perlu arah yang bukan hanya sekadar kompromi, bangsa ini memerlukan sintesis ideologis.
Maka Di sinilah konsep pertahanan rakyat menemukan maknanya. Pertahanan rakyat bukanlah militerisasi masyarakat dan bukan pula pelemahan institusi pertahanan negara. Ia adalah gagasan tentang kekuatan yang berpangkal pada kesadaran.
Ia menyatukan disiplin koersif dengan rasionalitas sipil tanpa membiarkan yang satu menelan yang lain. Dalam pertahanan rakyat, negara menjadi kuat karena rakyatnya sadar.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
| DPR Ingatkan TNI Jaga Supremasi Sipil Usai Rencana Laporkan Ferry Irwandi |
|
|---|
| Mabes TNI Buka Suara soal 17+8 Tuntutan Rakyat: Prajurit Kembali ke Barak hingga Proyek Sipil |
|
|---|
| Prihatin atas Wafatnya Affan, Agus Jabo Ajak Pemimpin Lebih Peka |
|
|---|
| PROFIL Muhammad Nazaruddin Bekas Bendahara Demokrat yang Jadi Ketua Umum Partai Rakyat Indonesia |
|
|---|
| Mengusung Semangat Nasional Religius, Muhammad Nazaruddin Deklarasikan Partai Rakyat Indonesia |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.