Waktunya Muda Mudi Dapat Wawasan
Melihat Regulasi Layanan Ojek Online di AS dan Eropa, Indonesia Mau Tiru yang Mana?
Di tengah perdebatan soal regulasi baru ojek online (ojol) di Indonesia, pengalaman dari negara lain bisa memberikan perspektif penting. Bagaimana neg
Penulis:
Matheus Elmerio Manalu
Editor:
Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah perdebatan soal regulasi baru ojek online (ojol) di Indonesia, pengalaman dari negara lain bisa memberikan perspektif penting. Bagaimana negara maju mengatur layanan ojek online?
Meski tidak menggunakan sepeda motor, layanan transportasi daring seperti Uber dan Lyft di Amerika Serikat, atau Deliveroo dan Uber Eats di Eropa, telah lebih dulu menghadapi pertanyaan besar: apakah pengemudi harus dianggap karyawan atau mitra independen?
Pertanyaan inilah yang sedang dihadapi oleh layanan transportasi daring (ojol) di Indonesia. Regulasi baru ojek online ini pun terus dibahas oleh beberapa kementerian, mulai dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Lantas bagaimana negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Spanyol atau Inggris mengatur regulasi transportasi daring mereka?
Amerika Serikat: status kontraktor dengan jaminan tambahan
Di Amerika Serikat, status pengemudi ojek online sebagai pekerja independen sudah lama dijadikan regulasi.
Namun pada 2019, badan legislatif negara bagian California meloloskan undang-undang bernama Assembly Bill 5 (AB5) yang mewajibkan perusahaan transportasi daring mengklasifikasikan pengemudi sebagai karyawan.
Dua perusahaan transportasi daring raksasa, Uber dan Lyft, menentang keras undang-undang tersebut. Lewat kampanye yang cukup besar, keduanya berhasil mendorong lahirnya Proposition 22, yang akhirnya mempertahankan status driver sebagai pekerja independen dengan perusahaan memberikan perlindungan tambahan, seperti asuransi dan jaminan pendapatan minimum.
“Prop 22 memberi kami fleksibilitas, tapi juga keamanan. Kami percaya ini adalah model baru kerja fleksibel di era digital. Ini kemenangan bagi pengemudi dan konsumen,” ucap Chief Legal Officer Uber dikutip dari The New York Times.
Eropa: lebih protektif kepada pengemudi
Sementara itu, pendekatan Eropa terhadap layanan transportasi daring cenderung lebih protektif terhadap pengemudi. Di Spanyol, pemerintah mengesahkan undang-undang Ley Rider pada 2021.
Undang-undang ini menetapkan bahwa semua pengemudi aplikasi, termasuk pengantar makanan, harus berstatus karyawan.
"Peraturan yang telah disetujui menempatkan kita di garis terdepan perubahan teknologi yang tidak boleh mengabaikan hak-hak buruh. Pekerja berhak mengetahui apa yang memotivasi keputusan bisnis," kata Menteri Tenaga Kerja Spanyol Yolanda Diaz dikutip dari Reuters.
Di Inggris, Mahkamah Agung memutuskan bahwa pengemudi Uber harus diklasifikasikan sebagai pekerja (workers), bukan kontraktor independen. Melansir BBC, Keputusan ini memberikan hak-hak pekerja seperti upah minimum nasional, cuti tahunan berbayar dan perlindungan hukum lainnya.
Dalam menyampaikan putusannya, Lord Leggatt mengatakan bahwa Mahkamah Agung dengan suara bulat menolak banding Uber yang menyebutkan bahwa Uber adalah pihak perantara dan menyatakan bahwa pengemudi harus dianggap bekerja bukan hanya saat mengantar penumpang, tetapi juga setiap kali masuk ke aplikasi.
Baca juga: Ekonom Sarankan Pemerintah Hati-hati Membuat Regulasi Baru tentang Ojol
Waktunya Muda Mudi Dapat Wawasan
Singapura Punya Speakers Corner, Tempat Warga Sipil Bebas Demo ke Pemerintahnya |
---|
Bukan Sekadar Beres-Beres, Decluttering Bisa Tingkatkan Kualitas Hidup |
---|
Mengenal Pacu Jawi: Tradisi Balap Sapi yang Sarat Nilai Kemerdekaan |
---|
Film Animasi Rp6,7 M Dihujat, 5 Animator Indonesia Ini Buktikan Talenta di Industri Film Global |
---|
Selain Yogurt dan Kimchi, Probiotik Lokal Indonesia Ini Juga Punya Segudang Manfaat |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.