Minggu, 21 September 2025

Industri Logistik Diwarnai Perang Tarif yang Tidak Rasional

Praktisi logistik Muhamad Pahlevi menilai bahwa industri logistik saat ini diwarnai oleh perang harga yang tidak rasional.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Sanusi
handout
PERANG TARIF - Di tengah pertumbuhan pesat sektor perdagangan dan e-commerce, industri logistik Indonesia justru masih menghadapi tantangan serius. Persaingan harga yang tidak sehat, lemahnya koordinasi antar pelaku, serta belum adanya sistem regulasi yang jelas dan terintegrasi menjadi hambatan utama bagi efisiensi sektor ini. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah pertumbuhan pesat sektor perdagangan dan e-commerce, industri logistik Indonesia justru masih menghadapi tantangan serius. 

Persaingan harga yang tidak sehat, lemahnya koordinasi antar pelaku, serta belum adanya sistem regulasi yang jelas dan terintegrasi menjadi hambatan utama bagi efisiensi sektor ini.

Pengamat bisnis dan praktisi logistik Muhamad Pahlevi mengatakan, kondisi ini telah berlangsung cukup lama dan perlu direformasi secara menyeluruh.

Baca juga: Pembangunan Jalan Layang Poros Maros–Bone di Sulsel Rampung, Telan Rp 138,5 Miliar

“Persoalan utama logistik di Indonesia adalah tidak adanya sistem yang terintegrasi dan satu payung regulasi yang jelas baik dari sisi pelayanan, tarif, maupun standarisasi kualitas,” ujar Muhamad Pahlevi dalam keterangannya, Minggu (3/8/2025).

Pahlevi menilai bahwa industri logistik saat ini diwarnai oleh perang harga yang tidak rasional.

Para penyedia jasa, menurutnya, bergerak secara individual tanpa panduan harga baku, sehingga terjadi repetisi layanan dan banting harga.

“Ada pelaku yang menurunkan margin hingga tersisa Rp150 ribu. Tapi ujungnya tetap habis karena tergerus biaya operasional. Ini jelas tidak sehat,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa dunia logistik setidaknya terbagi dalam dua segmen utama, yakni layanan kurir (seperti JNE, Pos Indonesia, SAP) dan jasa door-to-door antar gudang atau proyek.

Namun, keduanya kini terjebak dalam konflik tarif, baik di level hub maupun antar operator.

“Tanpa regulasi, yang termurah pasti menang. Kualitas layanan jadi nomor dua. Yang penting barang sampai,” tegas Pahlevi.

Pahlevi juga menyoroti terbatasnya perhatian pemerintah terhadap pelaku logistik di lini tiga dan empat, yakni penyedia jasa dan pemilik aset di lapangan. Ia menilai bahwa kebijakan logistik selama ini lebih berpihak pada investor besar di lini pertama.

“Pemain kecil kerap terjepit oleh kebijakan yang tidak jelas. Akibatnya, perbankan sebagai lini kelima pun ikut terdampak karena peningkatan kredit macet dan menurunnya minat pembiayaan usaha logistik,” jelasnya.

Ia mendorong adanya struktur tarif yang adil dan transparan, berdasarkan parameter objektif seperti jarak tempuh, moda transportasi, dan penggunaan bahan bakar bersubsidi.

“Misalnya, rute Jakarta–Bandung sekitar 140 km. Harus ada patokan harga per kilometer, termasuk perhitungan solar subsidi. Jika harga ditetapkan dengan adil, pajak dan subsidi bisa seimbang,” ujarnya.

Pahlevi juga mengungkap bahwa ketidakpastian dalam sistem logistik nasional membuat banyak perusahaan besar lebih memilih membangun layanan logistik sendiri. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan