Kamis, 20 November 2025

FINI Kritik Tata Kelola Nikel, Cadangan Besar tapi Masih Impor

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia tapi mengimpor bijih nikel dalam jumlah masif dari negara tetangga.

|
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/Willy Widianto
PENGOLAHA NIKEL - Proses pemanasan dan peleburan nikel yang sudah siap menjadi stainless steel di pabrik PT IMIP Morowali. Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia masih mengimpor bijih nikel dalam jumlah masif dari negara tetangga yang cadangannya jauh lebih kecil. 

Ringkasan Berita:
  • Indonesia masih mengimpor bijih nikel dari Filipina karena pasokan nikel di tambang domestik terbatas.
  • Pertumbuhan smelter yang cepat tidak sejalan dengan kapasitas tambang dan kebijakan RKAB tahunan memperburuk ketimpangan pasokan.
  • FINI mendesak penguatan eksplorasi, kepatuhan teknis pertambangan, dan prioritas RKAB bagi tambang terafiliasi smelter agar hilirisasi tidak terhambat.
 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Di tengah ambisi besar Indonesia untuk mengukuhkan diri sebagai pusat industri baterai dan kendaraan listrik global, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyoroti sebuah fenomena paradoks yang sedang terjadi. 

Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia mengimpor bijih nikel dalam jumlah masif dari negara tetangga yang cadangannya jauh lebih kecil.

Ketua Umum FINI, Arif Perdana Kusumah, menyebut fenomena ini sebagai sinyal peringatan keras bagi ekosistem hilirisasi nasional.

"Laju pembangunan hilirisasi (smelter) yang begitu cepat ternyata belum diimbangi dengan kapasitas pasokan yang memadai di sektor hulu (pertambangan)," kata  Arif Perdana Kusumah dalam paparannya, 

Data yang dipaparkan FINI mengungkap fakta yang mencengangkan.

Indonesia, yang memiliki cadangan nikel sebesar 55 juta ton logam nikel  atau sekitar 45 persen cadangan dunia seharusnya menjadi negara paling aman dalam hal ketersediaan bahan baku.

"Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Indonesia justru bergantung pada impor dari Filipina, negara yang hanya memiliki cadangan 4,8 juta ton atau 4 persen cadangan global," katanya.

Berdasar data yang diperoleh FINI sepanjang tahun 2024, impor mencapai lebih kurang 10,4 juta ton bijih nikel dari Filipina dan tahun 2025 ini diperkirakan melonjak menjadi kurang lebih 15 juta ton yang bernilai setara nilai sekitar 600 juta dolar AS.

"Impor ini dipicu oleh dua faktor utama: keterbatasan pasokan domestik akibat ketatnya perizinan dan kebutuhan teknis untuk blending (pencampuran) guna mencapai rasio Si:Mg yang sesuai spesifikasi smelter," katanya.

Baca juga: Euforia Industri Baterai Kendaraan Listrik Cenderung Fluktuatif, Ini Langkah Produsen Nikel

Arif menjelaskan, ketimpangan ini terjadi karena pertumbuhan smelter yang sangat agresif tidak sejalan dengan kesiapan produksi tambang.

Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, kapasitas smelter di Indonesia meledak luar biasa yakni 2017 produksi smelter hanya 250 ribu ton nikel kelas dua dan 2024 memiliki kapasitas melesat menjadi kurang lebih 1,8 juta ton nikel kelas dua dan kurang lebih 395 ribu ton nikel kelas satu.

Sementara di sisi hulu, perubahan kebijakan masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahunan menjadi satu tahunan dinilai FINI membawa tantangan besar.

Baca juga: Pemerintah Batasi Izin Baru Smelter Nikel, Ini Alasan Kementerian ESDM

"Dengan ratusan smelter yang terus bertambah, kebutuhan kuota tambang melonjak, sementara waktu perencanaan tambang menjadi lebih pendek akibat kebijakan RKAB tahunan. Potensi ketidakseimbangan antara produksi tambang dan kebutuhan industri semakin terasa," ujar Arif. 

Jika ketimpangan pasokan ini terus berlanjut, Arif Perdana memperingatkan adanya dampak berantai yang serius bagi ekonomi nasional mulai lonjakan biaya produksi misalnya harga bijih nikel akan meroket karena kelangkaan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved