Dua dari tiga polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan divonis bebas, keluarga korban kecewa: 'Sudah banyak yang meninggal, kok malah bebas'
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (16/03), menjatuhkan vonis bebas terhadap dua dari tiga polisi yang menjadi terdakwa…
Bahkan kala jaksa penuntut umum menayangkan video penembakan gas air mata, jaksa tidak menggali secara detil soal siapa yang menembak, apa motifnya, dan mengapa menembakkan gas air mata ke arah tribun.
Itu mengapa sejak awal, Koalisi mendesak majelis hakim menjatuhkan putusan ultra petita atau putusan di luar tuntutan jaksa.
Karena nyatanya kelima terdakwa memiliki peran masing-masing atas meninggalnya 135 orang, tegas Daniel.
Hal itu diperkuat oleh laporan pemantauan Komnas HAM bahwa ada tujuh bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam tragedi Kanjuruhan.
Salah satunya, penembakan gas air mata ke arah tribun penonton secara brutal dan adanya penggunaan kekuatan oleh polisi secara berlebihan.
Penguatan lain datang dari hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin Menkopolhukam Mahfud MD.
"Bahwa ada pelanggaran dan menegaskan ada tembakan gas air mata secara membabi-buta. Tapi itu tidak dijadikan pertimbangan hakim."
Apa yang diinginkan keluarga korban?
Melihat persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur yang "sarat pembodohan", kata Devie Athok, ia mendesak Polres Kepanjen, Jawa Timur, segera menaikkan laporan yang diajukannya lima bulan lalu naik ke tahap penyidikan.
Dalam laporan tersebut, dia menggugat para pelaku dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Pengacara Devie Athok, Imam Hidayat pun mendesak polisi segera menindaklanjuti laporan kliennya itu tanpa harus menunggu hasil persidangan di PN Surabaya.
Selain itu, dia juga meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan memberikan keadilan bagi para korban.
"Bagaimana keadilan dari tragedi ini? Sia-sia korban dengan putusan ringan hakim."
Di tempat terpisah, mantan anggota TGIPF Kanjuruhan, Akmal Marhali mengatakan keputusan hakim tidak menyentuh keadilan.
Ia berharap dalam pembacaan vonis tiga terdakwa dari kepolisian, hakim menjatuhkan hukuman setimpal dari tuntutan jaksa yang hanya tiga tahun penjara.
Tiga terdakwa itu yakni Wahyu Setyo Pranoto (eks Kabag Ops Polres Malang), Bambang Sidik Achmadi (eks Kasat Samapta Polres Malang), Hasdarmawan (eks Danki 3 Brimob Polda Jatim).
Bagaimanapun, kata Akmal, polisi menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas penembakan gas air mata yang menyebabkan 135 nyawa melayang.
"Banyak pihak tidak tersentuh dalam kasus ini. Ditambah lagi ada pihak suporter yang memprovokasi, mereka harusnya dihukum juga. Jangan tidak dihukum jadi pegangan boleh merusak fasilitas umum," jelas Akmal Marhali.
"Ini tidak akan baik untuk penegakan hukum di Indonesia kalau ada pihak yang harus kena, tapi tidak diadili."
Rencananya pembacaan vonis terhadap tiga terdakwa lainnya akan berlangsung akhir bulan ini.
'Kealpaan yang sebabkan hilangnya nyawa'
Ketua Panitia Pelaksana Arema FC, Abdul Haris divonis satu tahun dan enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis (09/03). Adapun Security Officer Arema FC, Suko Sutrisno, dihukum penjara selama satu tahun.
Abdul Haris dan Suko Sutrisno terbukti secara sah dan meyakinkan kerena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, menderita luka berat, serta mengakibatkan orang lain terluka sedemikian rupa, kata Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Shiddqi Hamsya.
Beberapa pertimbangan hakim yang memberatkan terdakwa yakni sebagai ketua panitia pelaksana seharusnya tidak menjual tiket yang melebihi kapasitas.
"Kapasitas stadion hanya 38.000 tapi tiket dijual 45.000 sehingga sudah bisa diprediksi ancaman keamanan yang mungkin terjadi pada saat pertandingan berlangsung, kata majelis hakim seperti yang dilaporkan wartawan Roni Fauzan untuk BBC News Indonesia.
Pertimbangan lain, pintu keluar stadion Kanjuruhan yang sempit ada pembatas di bagian tengah, berpotensi menghembat suporter yang hendak keluar jika terjadi kepanikan.
Selain itu, rivalitas Persebaya dan Arema seharusnya menjadi perhatian khusus panitia pelaksana.
Sayangnya hal tersebut, menurut hakim, "tidak dilakukan Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris".
Adapun hal yang meringankan putusan hakim di antaranya, terdakwa disebut sudah berupaya memajukan jadwal pertandingan antara Persebaya melawan Arema dari yang sebelumnya pukul 20.00 WIB menjadi 18.00 WIB sesuai rekomendasi Kapolres Malang.
Kemudian hakim juga mengatakan "terdakwa bermula ketika adanya suporter yang turun ke lapangan".
Terakhir Abdul Harus belum pernah dipenjara dan sudah lama mengabdi di dunia sepakbola dan telah membantu untuk meringankan beban korban.
Menanggapi putusan ini terdakwa Abdul Haris menyatakan "masih pikir-pikir" untuk mengajukan banding. Kendati ia menyebut tragedi tersebut tidak bisa semata-mata dilimpahkan hanya pada panitia.
"Tapi sementara ini kami pikirkan lagi. Semua yang berkaitan dengan sepak bola, kalau semua dilimpahkan ke kami kan tidak adil. Semua harus ikut bertanggung jawab," ujar Haris.
"Saya kira majelis sudah jeli, tapi beliau lupa ada satu pertimbangan yang tidak diutarakan, bahwa pintu keluarnya suporter waktu keluar setelah pertandingan, itu tertutup asap [gas air mata]", ungkap pengacara terdakwa, Eko Hendro Prasetyo.
Putusan hukuman terhadap terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut masing-masing dengan hukuman 6 tahun 8 bulan penjara.
Jaksa menilai karena kealpaan atau kelalaian sebagai panitia penyelenggara menyebabkan 135 orang meninggal, 26 menderita luka berat, 596 luka sedang dan ringan usai menyaksikan pertandingan sepakbola antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022
Jaksa juga menilai kesalahan terdakwa telah menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban, serta memicu stigma negatif terhadap persepakbolaan Indonesia.
Tragedi Kanjuruhan menjadi sorotan dunia dan menjadi tragedi sepak bola paling fatal sepanjang sejarah sepak bola dunia setelah peristiwa di Lima, Peru yang menewaskan 328 orang pada 1964.
Presiden Joko Widodo merespons tragedi yang terjadi setelah pertandingan Arema FC vs Persebaya pada 1 Oktober 2022 ini dengan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).
Persidangan dimulai pada 16 Januari 2023, namun diprotes oleh koalisi masyarakat sipil karena digelar secara tertutup dan akses publik untuk menyaksikannya juga dibatasi.
Keluarga korban pun mengaku "pesimis mendapatkan keadilan" karena proses persidangan yang dinilai tidak transparan.
"Seakan-akan kita ditutup-tutupi untuk mendapatkan keadilan," kata Devi Athok kepada media.
Fakta-fakta persidangan
Dalam persidangan, para saksi membeberkan sejumlah hal, di antaranya mengenai kelebihan tiket, momen saat kejadian, verifikasi stadion, hingga perekrutan steward.
Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris, ketika masih menjaid saksi pernah menyebut pihaknya mencetak 43.000 tiket pertandingan, padahal polisi hanya merekomendasikan 38.000 tiket.
Sisa tiket sempat ditarik oleh polisi, namun belakangan tiket-tiket tersebut dijual kembali setelah mendapat izin dari polisi.
Haris juga membeberkan bahwa pengurangan tiket itu sempat memicu kegaduhan.
Dia mengaku dimaki hingga diancam rumahnya akan dibakar oleh Aremania karena mengurangi jumlah tiket.
Polisi mengetahui hal itu, sehingga membatalkan rekomendasi mereka untuk menarik tiket.
Pada hari kejadian, saksi yang merupakan anggota Polsek Pakis, Eka Nararia Widhia Antara, mengaku sempat melihat ratusan penonton yang sudah memiliki tiket tidak bisa masuk ke stadion karena kondisi di dalam sudah penuh.
Stadion yang diduga kelebihan kapasitas itu disinyalir menjadi salah satu alasan mengapa tragedi ini begitu mematikan, selain adanya penggunaan gas air mata.
Beberapa saksi menceritakan soal situasi menegangkan di pintu stadion, ketika para penonton ingin ke luar, salah satunya diungkapkan oleh Mantan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat, yang juga menjadi saksi, menceritakan suasana dari pintu 13.
"Kami ditemui salah satu penonton dan menyampaikan 'pak, ada yang tergeletak di pintu 13', dekat lobi juga disampaikan hal sama, ada yang kejepit. Lalu kami bersama anggota untuk ke pintu 13 melakukan pengecekan langsung," kata Ferli di PN Surabaya, Kamis (19/01).
Miftachul Ulum, salah satu saksi sekaligus korban selamat yang berhasil keluar dari pintu 14, mengaku terkena gas air mata yang ditembakkan aparat.
"Saya juga sempat terjatuh ke bawah, enggak bisa melihat, panas muka dan mata, ada efek lemas saat itu. Setelah itu saya jatuh telungkup, ketendang satu orang," ujar dia yang kemudian mengaku diselamatkan petugas berbaju cokelat.
Menurut Ulum, aparat mulanya menembakkan gas air mata ke lapangan, tapi kemudian tembakan diarahkan ke tribun. Ulum pada saat itu berada di tribun 13.
Saksi lainnya, Yun Winanik, yang merupakan pedagang di sekitar stadion, mengaku mendengar "dua kali ledakan" dari dalam stadion.
Tak lama setelah itu, dia mengaku melihat banyak orang digendong ke luar dari pintu 10 dan dia memasukkan beberapa korban ke tokonya. Ada yang luka, ada pula yang meninggal dunia.
Dalam persidangan lain, ketika jaksa bertanya kepada saksi tentang pihak yang patut disalahkan atas kehadiran aparat yang membawa gas air mata ke stadion, Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Timur (Jatim) Ahmad Riyadh menyalahkan "security officer".
Riyadh mengatakan penjaga keamanan di dalam stadion adalah steward, bukan polisi. Kata dia, polisi cukup berada di luar stadion, sesuai aturan FIFA.
Oleh sebab itu PSSI Jatim menjatuhkan sanksi kepada terdakwa Haris dan Suko karena dinilai lalai dan mengakibatkan tragedi.
Sebanyak 250 steward dikerahkan dalam pertandingan antara Arema FC vs Persebaya itu.
Terkait kualifikasi steward, saksi lain mengungkap tidak ada permintaan khusus dari penyelenggara dalam perekrutan steward.
Para saksi mengatakan ada yang merekrut steward dari komunitas gym di Malang, ada juga yang merekrut pensiunan tentara.
"Total 250 orang, dipimpin pak Suko Sutrisno, yang disampaikan tentang ketertiban, untuk yang di pintu sesuai tugas dan tanggung jawab, tidak boleh bawa flare, kembang api, miras, dan lain-lain," kata saksi Ahmad Yoni, dikutip dari detik.com.
Adapun soal kelayakan stadion yang juga sempat dipertanyakan, saksi lainnya, Direktur Operasional PT Liga Indonesia Baru (LIB) Sudjarno, menyebut ada kekosongan regulasi terkait siapa yang bertanggung jawab melakukan verifikasi stadion.
Dia mengatakan "tidak ada regulasi" yang mewajibkan pihak tertentu untuk melakukan verifikasi stadion.
Terakhir, PT LIB melakukan verifikasi Stadion Kanjuruhan pada 2020 lalu, kata Sudjarno.
Pada 2021, Sudjarno mengatakan, verifikasi dilakukan oleh PSSI untuk kepentingan lisensi klub, tapi hasilnya tidak dilaporkan ke PT LIB.
Sebelumnya diketahui pihak yang seharusnya melakukan verifikasi stadion adalah PT LIB.
Oleh sebab itu, PT LIB menggunakan hasil verifikasi tahun 2020 sebagai syarat untuk penyelenggaraan Liga 1 2022/2023.
Dakwaan
Dalam sidang perdana yang digelar pada 16 Januari lalu, kelima tersangka didakwa melakukan kelalaian yang menyebabkan kematian.
Mereka didakwa pasal 359 KUHP, yang berbunyi: Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno tidak mengajukan keberatan, tetapi tiga terdakwa lainnya, yang berasal dari kepolisian, mengajukan eksepsi.
Tiga terdakwa itu minta dibebaskan.
Namun, majelis hakim PN Surabaya menolak eksepsi mereka.
Sebelumnya, Polri menetapkan enam orang tersangka dari pihak kepolisian dan panitia penyelenggara dalam tragedi yang menewaskan 135 orang ini.
Namun, belakangan salah satu tersangka, yaitu eks Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB), Akhmad Hadian Lukita, bebas dari tahanan Polda Jawa Timur. Hadian bebas karena berkasnya tak kunjung dinyatakan lengkap oleh jaksa. Pada saat bersamaan, masa penahanan Hadian di Polda Jatim sudah habis.
Dalam sidang perdana, Senin (16/01), lima terdakwa - yang tidak dihadirkan secara fisik di ruang pengadilan - secara bergantian mendengarkan dakwaan jaksa penuntut.
Mendapatkan penjagaan ketat oleh aparat kepolisian, sidang ini tidak dihadiri oleh suporter tim sepak bola Arema, kecuali seorang ibu yang anaknya menjadi korban akibat tragedi itu.
Temuan penyelidikan kepolisian menyimpulkan tragedi itu, antara lain, diakibatkan tindakan brutal aparat keamanan dengan serangan gas air mata.
Kelalaian pihak panitia penyelenggara laga Liga Satu antara Arema lawan Persebaya di stadion itu juga dianggap sebagai salah satu pangkal masalah.
Lima orang terdakwa itu adalah Ketua Panitia Pelaksana Arema FC, Abdul Haris; Security Officer Suko Sutrisno; Danki 3 Brimob Polda Jatim, AKP Hasdarmawan; Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto; serta Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi.
Selama proses penyelidikan, keluarga korban dan suporter Arema berulang kali melayangkan protes karena penyelidikan itu tidak mengarah ke pimpinan PSSI dan otoritas kepolisian lainnya.
'Memerintahkan tembakan gas air mata'
Terdakwa pertama, Komandan Kompi (Danki) 3 Brimob Polda Jawa Timur, AKP Hasdarmawan, disebut oleh jaksa penuntut memerintahkan bawahannya untuk menembakkan gas air mata ke arah penonton.
Dalam amar dakwaannya, Hasdarmawan disebut memerintahkan sejumlah bawahannya untuk beberapa kali melakukan hal itu.
Menurut jaksa, tindakan penembakan gas air mata itu "merupakan kecerobohan" dan "mengakibatkan suporter panik".
Sehingga, penonton "berdesak-desakan untuk keluar dari stadion sehingga terjadi penumpukan supporter di pintu-pintu stadion terutama di pintu 3, 10, 11, 12, 13 dan 14 yang menyebabkan para suporter terhimpit dan terinjak-injak sehingga menimbulkan kematian sebanyak 135 orang," demikian amar jaksa penuntut.
Selain itu, penggunaan gas air mata juga bertentangan dengan peraturan PSSI, bahwa "senjata api atau senjata pengurai massa tidak boleh dibawa atau digunakan."
Disebutkan perbuatan terdakwa diancam pidana Pasal 359 KUHP.
Terdakwa lainnya
Terdakwa Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, juga disebut jaksa "membiarkan penembakan air mata".
Saat laga digelar, Wahyu bertanggung jawab sebagai Kepala Perencanaan dan Pengendalian Operasi (Karendalops).
Dialah yang disebutkan membuat rencana pengamanan laga Arema FC vs Persebaya.
Jaksa menyebut seharusnya Wahyu bertugas "mengendalikan langsung seluruh personel pengamanan dan pelaksanaan pertandingan".
"Tapi Wahyu membiarkan Brimob menembakkan gas air mata ke arah para suporter," ujar jaksa penuntut.
Seperti halnya Hasdarmawan, Wahyu juga didakwa melanggar Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian.
Adapun terdakwa Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi, juga dianggap "turut memerintahkan anak buahnya menembakkan gas air mata" ke arah suporter.
Harapan keluarga korban
Walau tanpa dihadiri suporter dan keluarga korban, sidang perdana Tragedi Kanjuruhan, disaksikan Rini Hanifah, ibu salah-seorang korban meninggal, Agus Riansyah.
Ibu berusia 43 tahun ini berada di dalam ruangan sidang dan mengikuti saat jaksa membacakan dakwaannya.
Terkadang terlihat mengusap air matanya, Rini merekam jalannya sidang dengan telepon genggamnya. Dia datang dari tempat tinggalnya di Pasuruan, Jatim.
"[Yang meninggal] 135 korban, tapi tersangka kenapa kok [cuma] lima orang?" ujar Rini kepada media sebelum sidang digelar, Senin (16/01).
Namun dia berharap persidangan ini dapat keputusan yang adil bagi korban. Untuk itulah dia ingin agar para terdakwa dihukum seberat-beratnya.
"Dihukum seberat-beratnya seperti apa yang kita rasakan. Gimana seandainya dia yang kena musibah kayak gini," katanya, berharap.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.